Kronologi Kasus Penggusuran di Wilayah PIK-2 dan Laporan terhadap Muhammad Said Didu
Jakarta – Proyek pembangunan di wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK)-2, yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), memicu kontroversi setelah penggusuran paksa warga yang tinggal di kawasan tersebut. PIK-2, yang direncanakan untuk menjadi kawasan ekonomi dan pemukiman, bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur di Jakarta dan sekitarnya. Namun, proses penggusuran yang melibatkan warga yang telah lama menetap di wilayah tersebut memicu penolakan dari mereka yang merasa hak-hak mereka dilanggar.
Sejumlah warga yang terkena dampak penggusuran mengklaim bahwa proses pemindahan yang dilakukan oleh pengembang tidak adil dan tidak transparan. Mereka juga menganggap bahwa kompensasi yang diberikan tidak memadai. Menanggapi masalah ini, Muhammad Said Didu, seorang mantan pejabat publik dan aktivis yang dikenal dengan perjuangannya untuk membela hak-hak rakyat, terlibat aktif dalam mendampingi warga yang terdampak penggusuran. Said Didu, yang juga sering menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah, menilai bahwa kebijakan penggusuran tersebut melanggar hak asasi manusia dan merugikan rakyat kecil, terutama warga berpenghasilan rendah yang tinggal di kawasan PIK-2.
Said Didu menjadi salah satu suara lantang yang menentang kebijakan tersebut, dengan menyoroti ketidakadilan yang dialami oleh warga. Ia juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dan pengembang yang seringkali memprioritaskan proyek besar di atas kesejahteraan rakyat. Seiring dengan pernyataan-pernyataannya, Said Didu menjadi tokoh penting dalam perjuangan untuk keadilan sosial terkait penggusuran paksa di PIK-2.
Pada November 2024, Said Didu menerima panggilan dari Polresta Tangerang, Kota Tigaraksa, untuk menjalani pemeriksaan terkait laporan yang mengaitkan dirinya dengan dugaan pelanggaran UU ITE. Laporan tersebut mencuat setelah beberapa pihak, termasuk Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa (Apdesi) Kabupaten Tangerang, Maskota, menuduh Said Didu menghasut masyarakat melalui unggahan di media sosial. Tuduhan tersebut berkaitan dengan pernyataan-pernyataan Said Didu yang dianggap dapat memicu ketegangan di masyarakat dan merugikan pihak pengembang serta kebijakan pemerintah setempat.
Maskota, dalam laporannya, mengklaim bahwa pernyataan Said Didu di media sosial yang menentang penggusuran dapat berpotensi menghasut masyarakat untuk menentang proyek PSN PIK-2. Said Didu sendiri membantah tuduhan tersebut, dan menegaskan bahwa pernyataannya adalah untuk memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak warga yang digusur, bukan untuk menghasut atau merusak stabilitas. Ia berpendapat bahwa perjuangannya berfokus pada perlindungan hak dasar warga dan pengawasan terhadap kebijakan yang berdampak buruk pada kehidupan masyarakat.
Panggilan pemeriksaan yang diterima Said Didu menambah ketegangan di tengah-tengah perjuangannya. Banyak pihak, termasuk para pendukung Said Didu, yang melihat kasus ini sebagai bagian dari upaya kriminalisasi terhadap aktivis yang membela rakyat. Reaksi dari masyarakat di media sosial pun tidak lama kemudian berkembang dengan menggunakan tagar #SaveSaidDidu, yang menyerukan untuk melindungi hak kebebasan berpendapat dan menyuarakan penolakan terhadap penggusuran yang dianggap tidak adil.
Said Didu dalam pernyataannya menyatakan kesiapan untuk menghadapi proses hukum dengan kepala tegak. "Demi membela hak-hak rakyat dari penggusuran paksa, penyelamatan aset negara, dan keamanan negara, dengan mengucapkan BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, saya akan hadapi proses ini dengan kepala tegak dan berpasrah diri pada Allah," ujarnya dengan penuh keyakinan.
Ia juga menyampaikan bahwa apabila terjadi sesuatu padanya, ia berharap perjuangannya akan terus dilanjutkan oleh rakyat Indonesia. "Demi rakyat, demi bangsa, demi negara – mohon perkenan Bapak/Ibu/Saudara untuk melanjutkan perjuangan ini," tambahnya.
Di tengah situasi yang semakin memanas, Said Didu juga mendapat dukungan dari banyak pihak yang menilai bahwa tindakan hukum terhadapnya merupakan upaya untuk menekan suara-suara kritis terhadap kebijakan pemerintah dan pengembang besar yang terlibat dalam proyek PSN PIK-2. Sebagai respons, banyak yang menilai bahwa pemberian gelar doktor kepada Said Didu oleh Universitas Indonesia (UI) juga menjadi bagian dari kontroversi ini. UI, setelah melakukan evaluasi, memutuskan untuk menangguhkan gelar doktor Said Didu, yang sebelumnya diberikan oleh program Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI.
UI juga mengumumkan moratorium terhadap penerimaan mahasiswa baru di program doktor SKSG hingga dilakukan audit terhadap pengelolaan program tersebut. Keputusan ini turut mendapat perhatian masyarakat dan menambah ketegangan terkait isu akademik di tengah permasalahan sosial yang sedang berlangsung.
Sementara itu, Said Didu tetap teguh pada prinsipnya untuk memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak rakyat, meskipun ia menghadapi tantangan hukum yang berat. Ia berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak warga yang terpinggirkan dan menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Dalam upayanya, ia berharap bahwa proses hukum yang dijalani tidak akan menghalangi perjuangannya dan justru mempertegas komitmennya untuk membela rakyat.
Dengan kasus ini, semakin jelas bahwa polemik terkait proyek PIK-2, penggusuran paksa, dan perjuangan untuk keadilan sosial semakin menjadi sorotan. Penanganan masalah ini tidak hanya akan mencakup aspek hukum, tetapi juga mempengaruhi dinamika sosial-politik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengembang, akademisi, dan masyarakat sipil. Penanganan terhadap masalah ini akan menjadi ujian bagi demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.(*)