Keputusan Universitas Indonesia (UI) yang menangguhkan gelar doktor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, layak mendapat apresiasi. Langkah berani UI ini muncul seiring dengan kontroversi terkait disertasi Bahlil yang berjudul Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia.
Sejak awal, disertasi Bahlil memang menuai banyak masalah dan sorotan publik. Dugaan perjokian hingga plagiat mencuat, mengundang perhatian dari berbagai pihak. Salah satu dugaan perjokian terungkap melalui Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
JATAM mengungkapkan bahwa data dan informasi yang digunakan dalam disertasi Bahlil mirip dengan apa yang mereka berikan kepada seorang peneliti bernama Ismi Azkya pada 28 Agustus 2024. Ismi mengaku sedang melakukan penelitian pribadi, namun informasi yang diberikan ternyata digunakan dalam disertasi Bahlil.
JATAM kemudian melayangkan protes kepada UI dan meminta agar seluruh informasi yang digunakan tanpa izin dari mereka dihapus dari disertasi tersebut. Selain dugaan perjokian, disertasi Bahlil juga tersandung tuduhan plagiat.
Netizen yang menggunakan aplikasi Turnitin untuk memeriksa kesamaan karya ilmiah menemukan bahwa disertasi Bahlil memiliki tingkat kesamaan hingga 95 persen dengan karya yang ditulis oleh seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Seiring dengan kabar penangguhan gelar doktor ini, Bahlil mengaku belum menerima surat keputusan resmi dari UI mengenai hal tersebut. "Saya belum tahu isinya," ujarnya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Rabu (13/11/2024).
Namun, Bahlil mengklaim bahwa berdasarkan surat rekomendasi yang dia terima dari UI, dirinya tidak ditangguhkan, meskipun ia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai surat rekomendasi tersebut.
Skandal ini semakin berkembang dengan munculnya nama Ismi Azkya, yang terlibat dalam kontroversi tersebut. Ismi, yang bekerja sebagai asisten peneliti di Lembaga Demografi UI, diduga terlibat dalam praktik perjokian karya ilmiah terkait disertasi Bahlil.
JATAM menegaskan bahwa mereka tidak pernah memberikan izin, baik secara tertulis maupun lisan, untuk menggunakan wawancara mereka sebagai narasumber dalam disertasi Bahlil.
Melky Nahar, Koordinator Nasional JATAM, menyatakan bahwa wawancara yang dilakukan oleh Ismi pada awalnya disetujui hanya untuk kepentingan penelitian pribadi, bukan untuk disertasi Bahlil.
Namun, nama JATAM tiba-tiba muncul sebagai narasumber dalam sidang terbuka promosi doktor Bahlil. JATAM merasa dikhianati, terutama karena Ismi tidak pernah mengungkapkan bahwa wawancara tersebut akan digunakan dalam disertasi Bahlil.
Kontroversi ini semakin memanas ketika JATAM mencoba menghubungi Ismi untuk klarifikasi, namun tidak mendapat penjelasan yang memadai. Ismi bahkan memblokir kontak dua pegiat JATAM yang berusaha mengonfirmasi isu tersebut. Tindakan ini memperkuat dugaan bahwa Ismi terlibat lebih dalam dalam praktik tersebut.
Skandal ini tentu saja berdampak pada reputasi Ismi Azkya sebagai peneliti muda yang baru memulai kariernya.
Jika terbukti bahwa ia terlibat dalam manipulasi data untuk kepentingan disertasi pejabat, ini bisa menjadi kasus besar yang mencoreng dunia akademik Indonesia. Ismi kini berada di bawah sorotan publik, dan integritasnya sebagai peneliti dipertaruhkan.(*)