Investasi China untuk Program Makan Bergizi Gratis Dinilai Berisiko Bagi Keuangan Negara
Jakarta – Kesepakatan antara Indonesia dan China yang bernilai US$10 miliar atau setara dengan Rp157 triliun untuk mendanai program makan bergizi gratis mendapat perhatian serius dari sejumlah pengamat ekonomi. Program yang menjadi prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ini dinilai berisiko dan dapat memberatkan keuangan negara dalam jangka panjang.
Muhammad Andri Perdana, pengamat ekonomi dari Bright Institute, mengingatkan bahwa pinjaman atau bantuan dari China tersebut berpotensi membawa konsekuensi politik dan ekonomi. "Tidak ada makan siang gratis," ujar Andri, mengingatkan bahwa pemberian pinjaman besar seperti ini pasti ada timbal baliknya. Salah satu kemungkinan adalah Indonesia akan diminta melunak dalam kebijakan perdagangan, terutama soal impor barang-barang dari China.
Kesepakatan pendanaan ini disepakati dalam pertemuan Presiden Prabowo dengan Presiden China Xi Jinping pada 10 November 2024 di Beijing. Dalam nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani, China berkomitmen untuk mendanai program makan bergizi gratis yang ditargetkan akan menjangkau hampir 83 juta orang di Indonesia.
Program ini bertujuan untuk menangani masalah stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dengan total anggaran yang diperkirakan mencapai Rp71 triliun untuk tahun 2025, program ini akan memberikan makan bergizi gratis kepada anak-anak usia dini, pelajar, serta ibu hamil.
Namun, meski Indonesia berusaha mencari alternatif pembiayaan program ini dengan melibatkan investasi dari China, Andri mengingatkan bahwa pinjaman tersebut dapat meningkatkan profil utang negara. Menurutnya, jika dibiayai melalui Surat Berharga Negara (SBN), utang pemerintah akan bertambah, yang bisa berisiko memperburuk kondisi fiskal Indonesia.
Dalam pertemuan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa kesepakatan ini merupakan bagian dari tujuh kesepakatan bilateral antara Indonesia dan China. "Mereka [pemerintah China] sudah melaksanakan program makan bergizi gratis di China, jadi mereka akan mendukung Indonesia untuk melaksanakan program serupa," ujar Airlangga.
Namun, sejumlah ekonom menilai bahwa pinjaman untuk program ini kemungkinan besar akan berdampak negatif pada anggaran negara, terutama karena program makan bergizi gratis tidak memberikan keuntungan finansial seperti proyek-proyek infrastruktur lainnya. "Makan bergizi gratis adalah program sosial, jadi tidak ada pengembalian finansial yang akan diterima," kata Tauhid Ahmad, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono, menyatakan dukungannya terhadap investasi bisnis dari China. Menurutnya, selama program ini selaras dengan kebijakan dan kepentingan bangsa, Indonesia perlu terus bekerja sama dengan negara-negara besar, termasuk China, untuk membangun kesejahteraan nasional.
Program makan bergizi gratis dijadwalkan akan dimulai pada Desember 2024 dengan uji coba serentak di 100 titik di seluruh Indonesia. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menjelaskan bahwa program ini akan melibatkan sekitar 48.000 dapur umum di seluruh wilayah Indonesia untuk menyediakan makanan bergizi bagi 83 juta orang yang tercatat sebagai penerima manfaat.
Pemerintah berharap program ini dapat membantu mengatasi masalah gizi buruk, stunting, dan kemiskinan yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Program ini juga diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan anak-anak Indonesia di masa depan.
Namun, meskipun terdapat dukungan dari berbagai pihak, ekonom dan pengamat masih mempertanyakan keberlanjutan pendanaan program ini mengingat beban anggaran yang semakin berat akibat pinjaman dari China. Pemerintah perlu mempertimbangkan dengan hati-hati implikasi jangka panjang dari kesepakatan ini terhadap kemandirian ekonomi Indonesia.(*)