Kasus Intimidasi di SMA Kristen Gloria 2 Surabaya Berlanjut ke Proses Hukum
Seorang siswa SMA Kristen Gloria 2 Surabaya, Jawa Timur, berinisial E (15), diminta oleh seorang pria dewasa untuk bersujud dan menggonggong seperti anjing. Kasus ini akhirnya memasuki ranah hukum setelah kejadian yang sempat viral di media sosial tersebut.
Kepala Bidang Humas Polda Jatim Kombes Pol Dirmanto menggelar konferensi pers di Polrestabes Surabaya pada Rabu (13/11/2024), menjelaskan kronologi kejadian yang terjadi pada 21 Oktober 2024. Setelah peristiwa tersebut viral, polisi dari Polrestabes Surabaya segera melakukan langkah-langkah penyelidikan. "Penyelidik sudah mendatangi sekolah segera setelah kejadian viral pada pukul 15.30. Teman-teman dari Polrestabes langsung datang pada saat itu juga, tetapi karena sudah sore, sekolah sudah tutup," kata Dirmanto.
Polisi kemudian meminta keterangan dari pihak keamanan sekolah, dan keesokan harinya, penyelidikan berlanjut dengan meminta keterangan dari pihak sekolah, termasuk IV yang diyakini sebagai pelaku. Selama proses penyelidikan, polisi mengetahui bahwa IV dan EV telah mencapai kesepakatan damai dan saling memaafkan. Kesepakatan damai ini juga diunggah di berbagai platform media sosial. Meskipun demikian, pihak sekolah Gloria 2 tetap mendesak agar Polrestabes Surabaya melanjutkan proses hukum.
Beberapa hari setelah kejadian, guru-guru di SMA Gloria 2 melaporkan insiden tersebut ke Polrestabes Surabaya dan bahkan menyewa jasa pengacara untuk menangani kasus ini. Polisi memastikan bahwa kasus ini masih dalam tahap pendalaman dan hingga pertengahan November ini, belum ada penetapan tersangka. Dirmanto menambahkan bahwa karena melibatkan anak-anak, pihak kepolisian akan tetap mengutamakan pendekatan yang hati-hati, mengingat adanya asas ultimum remedium dalam penegakan hukum, yang artinya penegakan hukum harus menjadi langkah terakhir apabila kedua belah pihak masih terus berseteru.
Kronologi kejadian bermula ketika siswa SMA berinisial EN mengejek lawan bermain basketnya, EL, dengan menyebut rambutnya seperti anjing. Kemudian, EL bersama sejumlah pria dewasa mendatangi sekolah EN pada Senin (21/10/2024). Mereka berniat menemui EN saat pulang sekolah. "Ya kejadiannya di tenda-tenda itu (depan sekolah) pas di situ," kata seorang petugas keamanan SMA yang enggan disebutkan namanya.
Orangtua EL, IV, langsung membentak korban dan menyuruhnya meminta maaf karena mengejek anaknya. Selain itu, IV juga meminta EN bersujud dan menggonggong. "Iya, disuruh menggonggong," ujar petugas keamanan yang hadir saat itu. Beberapa guru, petugas keamanan, dan bhabinkamtibmas segera datang ke lokasi untuk meredam amarah IV yang masih membentak EN. Atas nama sekolah, salah seorang guru melaporkan kejadian tersebut ke polisi dengan nomor LPM/1121/X/2024/SPKT/POLRESTABES SURABAYA.
Mengenai hal tersebut, humas sekolah, Robi Dharmawa, membenarkan peristiwa itu, namun ia menolak untuk berkomentar lebih lanjut dan menyerahkan kasus ini kepada kuasa hukum. Kuasa hukum sekolah, Sudiman Sidabuke, belum merespons saat diminta konfirmasi terkait kejadian tersebut.
Komisi D DPRD Surabaya turut berang dengan peristiwa ini dan memanggil pihak sekolah pada Kamis (24/10/2024) untuk mendapatkan klarifikasi. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Dinas Pendidikan Kota Surabaya, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga dihadirkan dalam rapat tersebut. Anggota Komisi D, Johari Mustawan, menyatakan keprihatinannya terhadap kejadian tersebut. "Sebagai Kota Layak Anak, saya miris melihat videonya sampai ada siswa dipaksa jongkok dan menirukan gaya hewan," ujarnya.
Anggota Komisi D lainnya, Ajeng Wira Wati, mendesak agar predikat Kota Layak Anak tidak hanya menjadi label semata, tetapi harus diimplementasikan secara nyata di sekolah-sekolah. "Saya meminta predikat Kota Layak Anak ada satgas khusus soal ini di sekolah. Yang memerangi bullying adalah kita semua, termasuk orang tua," katanya.
Dalam rapat tersebut, anggota Komisi D lainnya, Michael Leksodimulyo, menilai bahwa persoalan sebenarnya berasal dari orang tua wali murid yang merasa anaknya diolok-olok. "Ini sebenarnya kasus orang tua yang tidak terima anaknya diolok-olok. Saling ejek dalam pertandingan itu biasa. Orang tua ikut. Tapi karena ribut, geger di sekolah, ada polisi banyak hingga semua menjadi horor. Semua ketakutan," ujarnya.
Hingga saat ini, proses hukum terkait kasus ini masih terus berlanjut, dan polisi tetap berkomitmen untuk menangani kasus ini dengan hati-hati, terutama mengingat korban adalah seorang anak di bawah umur.(*)