Pengangkatan Penjabat (Pj) kepala daerah oleh Presiden Joko Widodo, dikaitkan dengan upaya pemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, oleh saksi ahli yang dihadirkan pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Senin (1/4).
Pasangan yang dikenal dengan sebutan Amin tersebut menghadirkan ahli Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan, dalam sidang lanjutan sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024, di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (1/4).
"Dukungan dan keberpihakan Presiden Joko Widodo kepada Paslon 02 nyata tampak dalam kebijakannya (perbuatan, tindakan, dan ucapan) sebelum dan pada saat masa kampanye Pilpres 2024, terkait dengan pengangkatan Pj Kepala Daerah secara masif, keterlibatan pejabat negara, dan penggalangan kepala desa untuk memenangkan Paslon 02," ujar Djohermansyah.
Menurutnya, kemenangan Prabowo-Gibran dengan hanya satu putaran pemilihan presiden (pilpres), dan memperoleh suara hingga 96.214.691 suara atau 58 persen dari total pemilih yang mencoblos, tidak didapat dari proses pemilihan yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia (jurdil luber).
"Karena paslon 2 membiarkan Pilpres 2024 tak berjalan dengan bebas, jujur, dan adil, bahkan menikmati keberpihakan Presiden Joko Widodo yang telah mencederai konstitusi dan merusak demokrasi, maka kemenangan Paslon 02 dengan cara fraud ini layak dianulir oleh MK," tuturnya.
Dia meyakini, cara pengerahan Pj kepala daerah untuk mempengaruhi pemilih di Pilpres 2024 sangat efektif, karena corak memilih masyarakat Indonesia dia anggap berorientasi paternalistik dan feodalistik.
"Karena tingkat pendidikannya rata-rata masih rendah, kira-kira kelas 2 SMP. Sementara birokrasinya masih bermentalitas yes man, ABS (Asal Bapak Senang), dan safety player," ucap Djohermansyah.
"Masyarakat pemilih di Indonesia yang kebanyakan cenderung dalam kondisi seperti ini, posisi kepala daerah, pejabat negara, para menteri misalnya dan kepala desa, sangat strategis dalam mempengaruhi sikap pilih mereka," sambungnya.
Ketika pengisian Pj kepala daerah dari ASN ini mulai dilakukan pusat pada 2022, Djohermansyah mendapati kegaduhan publik gara-gara seleksinya tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak demokratis. Bahkan, muncul gugatan di MK terkait aturan pengangkatan Pj kepala daerah.
"Dalam pertimbangan putusannya, (perkara) nomor 15/PUU-XX/2022 telah meminta pemerintah membuat peraturan pelaksanaan UU Pilkada yang transparan, yang akuntabel, dan demokratis. Tapi pemerintah Presiden Joko Widodo tidak
menggubrisnya, dan hanya menerbitkan Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Nomor 4 Tahun 2023," urainya.
Dia memandang, payung hukum tersebut lemah sehingga pengangkatan Pj kepala daerah relatif tidak berubah. Bahkan pekat dengan kepentingan politik presiden.
"Terbukti dari semua pengangkatan Pj kepala daerah diputuskan oleh Presiden Joko Widodo. Dulu pada zaman Presiden SBY, pengangkatan Pj Gubernur saja yang dibawa ke istana, sedangkan pengangkatan Pj Bupati, Walikota berada di Merdeka Utara dalam hal ini di Kemendagri," jelasnya.
"Evaluasi Pj kepala daerah normatifnya sekali dalam tiga bulan, lalu Presiden Jokowi mengubah pakem itu dengan mengatakan evaluasi Pj kepala daerah bisa dilakukan setiap hari, plus diwanti-wanti agar Pj tidak miring-miring yang bisa diartikan menaati
arahan beliau tanpa reserve," demikian Djohermansyah.