Data perolehan suara Pilpres 2024 yang dimiliki KPU, dibanding data sejumlah lembaga survei yang menyelenggarakan hitung cepat atau quick count, menjadi topik yang disampaikan profesor komputer pertama di Indonesia, Prof Dr Ir Marsudi Wahyu Kisworo.
Argumen itu disampaikan saat memberi keterangan pada sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Ruang Sidang Utama Lantai 2 Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (3/4).
"Saya bandingkan hitungan KPU dengan lembaga hitung cepat. Kalau kita lihat, ada 12 lembaga hitung cepat yang angkanya tidak berbeda jauh dengan hasil Sirekap maupun hasil KPU," katanya.
Namun dia ogah menyimpulkan Sirekap bisa digunakan sebagai alat manipulasi suara. Dia mengaku hanya ingin menunjukkan persentase validitas data pada alat bantu rekapitulasi itu, utamanya dengan real count yang dilakukan berjenjang oleh KPU, dibanding quick count.
"Rata-rata error hanya 0,07 persen, jadi tidak sampai 0,1 persen. Ini perbedaan antara hasil hitung cepat dengan hasil hitung manual. Tapi ada yang berpendapat hitung cepat sampelnya hanya 2.000 TPS, sedangkan TPS kita ada 822 ribu, apakah valid?" ucap Marsudi.
"Karena ada yang tidak percaya pada statistik, maka saya ingin menunjukkan real count lain yang dilakukan masyarakat sipil, yang membuat berbagai macam perhitungan real paralel dengan Sirekap," sambungnya.
Marsudi mengambil 3 lembaga real count dari sekitar 10 lembaga yang dibuat masyarakat sipil, ada Kawal Pemilu 2024 yang dipelopori Netgrit, KIPP, ICW dan beberapa lembaga lain. Lalu ada Jaga Suara 2024 yang dipelopori sejumlah tokoh nasional dan para ahli Pemilu yang juga mantan anggota KPU.
"Ada lagi Jaga Pemilu, yang ini lebih luas lagi, karena ada beberapa Ketua BEM dan lainnya. Dan hasilnya, ini bukan hitung cepat, tapi real count. Perbedaan antara Kawal Pemilu, Jaga Suara, dan Jaga Pemilu dengan KPU tidak terlalu jauh," katanya.