Tanda-tanda invasi Rusia ke Moldova terus menguat setelah komentar Presiden Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov mengindikasikan akan campur tangan di wilayah Transnistria.
Komentar Lavrov dan Putin telah menimbulkan kekhawatiran dari beberapa orang di media sosial tentang kemungkinan invasi Moskow ke negara Eropa lainnya di masa depan.
Komentar Lavrov muncul setelah pertemuan besar pada pekan lalu di antara "deputi dari semua tingkatan" di Transnistria, wilayah yang memisahkan diri dari bekas republik Soviet, Moldova. Pada pertemuan tersebut, para pejabat secara resmi meminta bantuan Rusia dalam konflik yang sedang berlangsung dengan Moldova, dan pemimpin tertinggi di wilayah tersebut menuduh negara tersebut melakukan "genosida" terhadap penduduk Transnistria.
Rusia telah lama mempertahankan ketegangan dengan negara-negara merdeka yang pernah dikuasainya sebagai wilayah Uni Soviet. Setelah invasi ke Ukraina pada Februari 2022, kekhawatiran muncul kembali akan potensi invasi ke bekas wilayah lain dengan tujuan untuk merebut kembali wilayah tersebut, dan Moldova kemungkinan besar dianggap sebagai target rencana semacam itu.
Dalam komentar yang dibuat setelah pertemuan para pejabat di Transnistria, Lavrov, yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Rusia sejak 2004, menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang ketika ia berbicara tentang Moldova dengan cara yang sama seperti yang ia dan pejabat Rusia lainnya lakukan untuk Ukraina sebelum terjadinya invasi.
"Rezim yang telah menetap di [ibu kota Moldova] Chisinau dan mengikuti jejak rezim Kyiv membatalkan semua bahasa Rusia, mendiskriminasi bahasa Rusia di semua bidang, dan, bersama dengan Ukraina, juga mengorganisir tekanan ekonomi yang serius terhadap Transnistria," kata Lavrov, dikutip Newsweek, Senin (4/3/2024).
Seorang perwakilan Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan kepada kantor berita RIA Novosti bahwa Moskow akan "dengan hati-hati" mempertimbangkan permintaan Transnistria untuk melindungi "rekan senegaranya" Rusia di wilayah tersebut.
Moldova diberikan status kandidat keanggotaan Uni Eropa (UE) pada tahun 2022, dengan rencana untuk menjadi anggota pada tahun 2030. Pemerintah Rusia sangat menentang negara-negara tetangganya untuk bergabung dengan organisasi seperti UE dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), ekspansi yang disebut Putin sebagai alasan tambahan untuk menginvasi Ukraina.
Pada Februari 2023, Presiden Moldova Maia Sandu menuduh presiden Rusia merencanakan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan negaranya, sebuah skenario yang diperingatkan oleh beberapa analis Barat dapat dicapai dengan bantuan sekitar 1.500 tentara yang tetap ditempatkan di Transnistria setelah perang yang menyebabkan itu menjadi negara bagian yang tidak diakui pada 1990-an.