Pemerintah telah membahas asumsi dasar makro untuk penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Di dalamnya terdapat sejumlah indikator seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah dan harga minyak dunia.
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan dalam asumsi itu, pemerintah sudah menetapkan inflasi sebesar 2,5% plus minus 1% dan nilai tukar Rp 15.000 - Rp 15.400 per dolar AS. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dipatok 5,3%-5,6%.
"Ekonomi Indonesia ditargetkan tumbuh 5,3%-5,6% supaya apa? Supaya lima tahun ke depan ini kita kan mau menyiapkan pondasi transformasi, sesuai dengan tema RKP 2025 yaitu akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," kata Amalia, dikutip Rabu (6/3/2024).
Lebih lanjut, dia menjelaskan pemerintah menetapkan asumsi harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 75 - US$ 85 per barel, sementara lifting minyak ditargetkan 583 - 603 ribu barel per hari dan gas 1 juta - 1,045 juta barel setara minyak per hari.
Menurut Amalia nantinya asumsi makro tersebut akan diusulkan kepada DPR RI untuk penyusunan Rancangan APBN 2025. Rancangan tersebut akan dijalankan oleh presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam Pemilihan Presiden 2024.
Sebagaimana diketahui, saat ini pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto Rakabuming Raka masih unggul dengan perolehan suara di atas 55%. Dengan demikian besar kemungkinan mereka akan memenangi Pemilihan Presiden 2024 dan akan menjalankan APBN 2025 ini.
Terkait asumsi makro yang telah ditetapkan pemerintah, sejumlah ekonom memberikan pandangannya.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menilai target pertumbuhan ekonomi 5,3-5,6% terlalu tinggi. Dia memprediksi ekonomi RI pada 2025 hanya tumbuh 5,0-5,3%. "Saya belum melihat adanya potensi penguatan dari beberapa kontributor pertumbuhan kita," kata dia.
Ronny mengatakan pertumbuhan ekonomi saat ini sangat bertumpu pada konsumsi rumah tangga dengan andil di atas 50%. Sedangkan, pada tahun mendatang dia menduga konsumsi rumah tangga akan tertekan oleh inflasi harga kebutuhan pokok. "Artinya itu berpotensi menggerus permintaan domestik," ujar dia.
Di lain sisi, Ronny melihat performa investasi yang bisa menjadi motor lainnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto juga tidak bersinar. Tahun 2023, kata dia, investasi belum mampu tumbuh di atas 6%. Dia memprediksi pertumbuhan investasi juga tak akan jauh berbeda pada tahun 2024 dan 2025.
Sementara itu, Ronny mengatakan pada tahun mendatang kinerja ekspor RI juga belum pulih akibat perlambatan ekonomi global. Dengan semua kondisi itu, kata dia, harapan satu-satunya pertumbuhan ekonomi hanya pada belanja pemerintah. Dia tidak yakin belanja pemerintah mampu mendorong ekonomi mencapai target asumsi makro di APBN 2025.
"Belum terlalu terlihat dari sisi mana pertumbuhan ekonomi akan didorong sampai ke level 5,3-5,6 persen, karena nomenklatur RAPBN 2025 masih tak berbeda dengan APBN dua tahun sebelumnya, yang ternyata hanya mampu menghasilkan performa ekonomi di level pas-pasan 5 persen," kata Ronny.
Sementara itu untuk inflasi, Ronny menilai target pemerintah yang dipatok di level 2,5% plus minus 1% belum mewakili keadaan inflasi yang sebenarnya. Dia mengatakan harga komoditas bahan pokok masih bergejolak dan pemerintah belum memberikan jaminan tidak ada kenaikan harga BBM tahun depan.
Menurut dia, apabila harga BBM naik maka inflasi makin sulit ditekan untuk mencapai level target APBN 2025. Dia memprediksi inflasi 2025 justru bisa melambung ke angka 3,5% sampai 4%.
Ronny juga mengatakan untuk kurs rupiah dirinya memprediksi akan bergerak pada level Rp 15,400 - Rp 15,800 di tahun 2025. Dia mengatakan kalau pemerintah harus mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi asing, pemerintah harus mempertahankan kurs rupiah yang sedikit lebih lemah dari hari ini, agar biaya investasi lebih murah dan ekspor semakin bisa ditingkatkan.
"Sementara soal target lifting minyak dan gas, saya kira masih masuk akal. Apalagi belum terdengar rencana pemerintah untuk menguatkan kembali produksi minyak domestik," katanya.
Sumber Ekonomi Baru
Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai pemerintah tak bisa hanya mengandalkan konsumsi untuk mengejar target pertumbuhan di APBN 2025. Menurut dia, apabila hanya mengandalkan konsumsi, maka pertumbuhan ekonomi 2025 hanya akan tumbuh di sekitar 5% saja.
"Untuk pertumbuhan ini tantangannya cukup besar, karena kita memang butuh sumber pertumbuhan baru, kalau hanya mengandalkan konsumsi sepertinya kita hanya akan tumbuh 5%," kata David.
David menilai target pertumbuhan itu juga harus berhadapan bahwa ekonomi mitra dagang terbesar RI, yaitu China yang sedang melemah. Dia memperkirakan ekonomi China hanya akan tumbuh 4 % pada 2024 dan 2025. Sementara, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berkorelasi positif dengan ekonomi negeri tirai bambu tersebut.
"Jadi kalau China sedang menguat kita biasanya ikut menguat," kata dia.
David mengatakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi itu, pemerintah harus mencari sumber pertumbuhan ekonomi yang baru. Dia menuturkan sumber pertumbuhan baru yang paling bisa diandalkan adalah investasi. "Investasi yang orientasinya ekspor dan banyak menyerap tenaga kerja. Itu mungkin bisa didorong untuk meningkatkan daya beli domestik," ujarnya.
Sementara itu, untuk target nilai tukar rupiah yang dipatok Rp 15.400, David menilai terlalu kuat. Dia khawatir target pemerintah itu justru akan menghambat daya saing ekonomi Indonesia.
"Kalau kita mau dorong ekonomi perlu peningkatan daya saing untuk produk-produk manufaktur dan salah satunya dari sisi kurs, kalau terlampau kuat mungkin jadi penghambat dan menyebabkan daya saing kita akan terganggu," kata dia.
Dia membandingkan kurs mata uang negara maju, seperti Yuan China yang sudah melemah 3,5% sejak awal tahun 2024 dan Yen Jepang yang sudah merosot 12%. Dia menilai kurs sebaiknya tidak dilihat hanya dari sisi nominal, melainkan berapa persen pelemahannya.
Dia menganggap nilai tukar Rp 15.000-15.400 mungkin cocok untuk tahun ini. Namun, pada 2025 dia menilai asumsi nilai tukar yang lebih masuk akal berkisar di Rp 16.000.
"(Angka Rp 16.000) itu kan hanya berapa persen dari posisi sekarang, jadi kemungkinan bisa lebih lemah untuk posisi 2025," kata dia.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Teuku Riefky menilai asumsi makro yang diusulkan pemerintah masih realistis. Hanya saja dia menyoroti target pertumbuhan ekonomi yang terlampau tinggi.
"Sejauh ini asumsinya relatif realistis, kecuali pertumbuhan ekonomi yang sedikit terlalu optimis," kata Teuku.
Riefky memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 masih sama dengan tahun 2023 dan 2024, yaitu di kisaran 5,0% sampai 5,1%. Dia belum melihat adanya sumber pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia.
"Sejauh ini kami belum melihat sumber pertumbuhan ekonomi baru yang signifikan," ujar dia.
Dia mengatakan apabila pertumbuhan ekonomi dipatok terlalu optimis, maka berpotensi mempengaruhi akurasi perencanaan pengeluaran dan defisit APBN. Dia melihat adanya potensi dilakukannya penyesuaian seiring berjalannya tahun fiskal.