MAHASISWA dari Rawamangun bersama sebagian kecil rakyat melakukan kegiatan demonstrasi turun ke jalan-jalan di sekitarnya. Ada dua aspirasi tuntutan besar yang mereka teriak-teriakan. Pertama adalah turunkan harga-harga bahan pokok. Kedua adalah turunkan Joko Widodo.
Sebelum demonstrasi tadi, beberapa hari sebelumnya dan sekalipun DPR RI masih sedang reses, terjadi demonstrasi dari kelompok kepentingan emak-emak. Mereka juga meneriakkan aspirasi untuk menurunkan harga-harga bahan pokok.
Kedua aspirasi demonstrasi tadi sungguh berbeda dengan aspirasi kelompok elite kepentingan. Mereka ini adalah elite orang-orang dari kalangan kelompok kepentingan pendukung paslon yang kalah dalam pilpres hasil hitung cepat dan perhitungan perkembangan real count KPU posisi terbaru.
Aspirasi elite ini adalah menolak distribusi bansos, terutama untuk periode sebelum pemilu 14 Februari 2024. Elite berkepentingan menolak kepala negara dan kepala pemerintahan yang sedang menjalankan amanat UU APBN untuk memberikan bansos kepada penduduk miskin.
Bansos ketika terjadi laju inflasi tinggi pada kenaikan harga makanan pokok beras dan bahan pokok lainnya. Bansos yang dipolitisasi.
Sungguh tidak mengherankan jika kelompok kepentingan elite dari paslon pilpres kemudian kalah telak. Hal itu ketika aspirasi elite sangat berbeda kepentingan dengan aspirasi penduduk miskin.
Penduduk yang senantiasa menggantungkan diri kepada bala bantuan dari kepala negara dan kepala pemerintahan. Bansos untuk mendapatkan makanan pokok beras dan sebagian bantuan langsung tunai (BLT) guna membeli bahan pokok lainnya, yang harganya sedang naik tinggi.
Juga bertentangan dengan aspirasi kedua kelompok kepentingan demonstran di atas, yang meminta harga bahan pokok turun. Demikian pula untuk masyarakat yang membutuhkan operasi pasar beras murah dan sembako lainnya.
Sementara itu aspirasi untuk menurunkan Joko Widodo adalah sama dengan aspirasi dari kelompok kepentingan Petisi 100. Memang 1-2 orang dari Petisi 100 beraktivitas sama lingkungan dengan mahasiswa Rawamangun. Akibatnya adalah aspirasi untuk menurunkan presiden itu sama sebangun dengan sebagian dari tuntutan mahasiswa demonstran di atas.
Kembali ke urusan kenaikan laju inflasi. Sesungguhnya laju inflasi di Indonesia sebesar 2,6 persen per tahun 2023 (Bank Indonesia, 2024).
Inflasi di Indonesia sebenarnya tergolong rendah jika dibandingkan laju inflasi di Turki yang sebesar 62,7 persen, Rusia sebesar 7,2 persen, Afrika Selatan sebesar India sebesar 5,4 persen, Inggris dan Prancis sebesar 4,2 persen, dan Australia sebesar 4,1 persen, bahkan jika dibandingkan terhadap Amerika Serikat yang sebesar 3,2 persen per tahun 2023.
Akan tetapi, persoalan laju inflasi yang membuat mahasiswa dan sebagian rakyat melakukan demonstrasi adalah kenaikan laju inflasi yang sebesar 5,84 persen year on year posisi Januari 2024 untuk kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau (BPS, 2024).
Komoditas pada kelompok pengeluaran tersebut adalah beras, bawang putih, tomat, cabai merah, daging ayam ras, gula pasir, rokok, kopi bubuk, air kemasan. Di luar kelompok pengeluaran yang juga mempunyai andil besar inflasi adalah sewa rumah, kontrak rumah, uang kuliah, nasi dengan lauk, dan ayam goreng.
Kelompok pengeluaran tadi berkaitan sangat erat dengan kepentingan mahasiswa yang melakukan demonstrasi, karena mahasiswa tidak tahan oleh kenaikan laju inflasi komoditas pokok.
Demikian pula dengan demonstran dari kalangan emak-emak, yang setiap hari sibuk mengurangi asupan gizi rumah tangga dari kalangan kelompok kepentingan penduduk kelas menengah ke bawah lapisan bawah.