DINAMIKA Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 menarik untuk disimak. Saya kali ini menyimaknya tidak sebagai pendukung dan tim sukses, tetapi rakyat biasa yang mencoba untuk melihat masalah ini secara otonom sebagai warga negara yang bebas.
Sejak dimulainya masa kampanye dari 28 November 2023 lalu sudah banyak perdebatan hasil survei di kalangan pendukung dan suporter paslon. Memang sudah beberapa kali lembaga survei merilis hasil pollingnya untuk memperlihatkan tingkat elektabilitas pasangan capres-cawapres, inilah yang diributkan oleh pendukung para kandidat.
Secara umum, mayoritas lembaga survei yang merilis hasil surveinya pada periode Desember 2023, memperlihatkan data tingkat elektabilitas capres-cawapres. Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat dengan perolehan angka tertinggi berkisar antara 39-46 persen. Sementara untuk Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berkisar di angka 16-26 persen bergantian posisi kedua dan ketiga dengan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di kisaran angka 15-24 persen.
Untuk angka-angka perolehan elektabilitas ini tidak bisa prediksi, karena kapan saja bisa berubah sesuai dengan dinamika politik yang terus berkembang. Perubahan-perubahan kecenderungan pemilih akan terjadi dari desember 2023 hingga Februari 2024 ini.
Tentu kita tidak bisa mengenyampingkan pemilih yang masih mungkin mengubah pilihannya (swing voters) dengan angka yang cukup besar dan pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) di angka rata-rata 10-14 persen dan pemilih yang masih menyembunyikan pilihannya.
Begitu juga dengan penggunaan margin of error, meskipun berkisar angka 2,60-2,80 persen, tapi itu sangat memengaruhi tingkat perolehan suara capres-cawapres.
Sebuah contoh yang cukup menarik untuk kita lihat hasil survei dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada putaran kedua. Kita tahu sebagian besar lembaga survei “tidak menjagokan” Anies-Sandi dalam Pilkada tersebut.
Hasil surveinya memang memperlihatkan Anies-Sandi 47-48 persen lebih unggul dari Ahok-Djarot 46-47 persen. Sementara yang belum menentukan pilihan berkisar di angka 4,6 persen. Tetapi yang mengherankan tiba-tiba lembaga survei terasa sangat tidak mempercayai sendiri hasil surveinya dengan menaikkan margin of error hingga 4,7 persen.
Kalau melihat angka margin of error seperti itu, tentu angka perolehan Anies-Sandi masih diragukan dan sangat besar kemungkinan berubah. Namun meskipun upaya untuk mencoba untuk menaikkan margin of error karena Anies-Sandi memiliki polling tertinggi namun hasil pilkada memperlihat angka yang bersembunyi di balik margin of error yang tinggi adalah suara Anies-Sandi yang “disembunyikan” plus suara pemilih yang masih undecided voters saat survei dilaksanakan. Hasil Perhitungan suara memperlihatkan Anies-Sandi memperoleh 57,96 persen dan Ahok-Djarot 42,04 persen.
Dengan kenyataan ini dapat kita lihat bahwa survei adalah angka yang masih dapat berubah, namun bukan berarti kita tidak percaya survei. Tetapi melihat dinamika penggunaan hasil survei, banyak orang yang menganggap lembaga survei cenderung dijadikan sebagai pembentuk opini publik untuk menggiring opini demi menguntungkan calon tertentu.
Meskipun demikian, itu tidak berarti kita menuduh semua lembaga survei tidak kredibel. Hasil survei tetap kita percaya sebagai bagian dari riset ilmu pengetahuan.
Bagaimana dengan Survei Pilpres 2024?
Hasil survei memang memperlihatkan Prabowo-Gibran unggul dari pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Dari semua survei tersebut dapat dipastikan belum ada satu pasangan calon pun yang memperoleh suara mayoritas 50+1 untuk memenangkan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 nanti. Artinya dari hasil survei, kemungkinan besar Pilpres 2024 dilaksanakan dua putaran.
Angin segar dukungan politik dan kekuatan politik kepada Prabowo-Gibran sangat besar, menghasilkan angka yang cukup tinggi dan lumayan jomplang dengan perolehan pasangan lainnya, apalagi dengan tingkat margin of error yang masih dalam batas toleransi yang cukup kecil.
Semoga ini bukan untuk memperlihatkan keunggulan Prabowo-Gibran dengan tingkat margin of error yang kecil, sehingga publik yakin Prabowo-gibran akan menang (satu putaran), sebagaimana kebalikan dari survei Pilkada DKI yang mengungguli Anies-Sandi dengan margin of error yang besar.
Kalau pemilih yang masih berubah ini dapat dipengaruhi oleh Prabowo plus pemilih yang belum menentukan pilihannya (10-14 persen) itu memilih Prabowo tentu pilpres satu putaran akan tercapai. Namun melihat angka survei yang berubah-ubah, tentu ini cenderung memperlihatkan bahwa kemungkinan besar tidak aka nada calon yang memperoleh suara di atas 50 persen.
Karena itu menurut hemat saya, pilpres 1 putaran masih sulit untuk dicapai, kecuali ada kejadian-kejadian yang “luar biasa” yang dapat mengubah keadaan politik selama Januari 2024 ini.
Harusnya Pilpres Dua Putaran
Terlepas dari harapan para kandidat satu atau dua putaran, secara konstitusional pilpres Indonesia itu didesain memang untuk dilaksanakan dua putaran. Namun karena penggunaan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum, membuat kompetisi perebutan kursi presiden menjadi sangat tertutup, transaksional, dan pragmatis.
Sistem pemilihan presiden dan wakil presiden menggunak ambang batas, membuat kompetisi politik pemilu menjadi tidak adil. Bayangkan, partai-partai yang dinyatakan menjadi peserta pemilu tidak dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden karena terhalang oleh angka PT 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara nasional.
Padahal UUD 1945 telah menetapkan bahwa syarat pencalonan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum (Pasal 6A ayat 2).
Artinya partai politik peserta pemilu yang ditetapkan oleh KPU berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden, tidak terkecuali partai lama atau partai baru maupun partai parlemen maupun partai non parlemen. Kalau menjadi peserta pemilu, berhak mengajukan pasangan calon.
Kalau misalnya pasangan calon presiden dan wakil presiden ingin memenangkan pilpres dalam satu putaran, maka mereka harus mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia (Pasal 6A ayat 3).
Dari ketentuan UUD tersebut, calon presiden dan wakil presiden tidak ditentukan berdasarkan koalisi politik pra-pemilu, tetapi ditentukan oleh rakyat Indonesia. Kalau tidak ada calon presiden yang tidak memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka akan dilakukan pemilihan putaran kedua.
“Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.” (Pasal 6A ayat 4)
Karena itu menurut hemat saya, pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia tidak dibuat untuk ditentukan oleh partai parlemen, tetapi ditentukan oleh rakyat. Setiap partai dapat mengusulkan calon presiden pada putaran pertama, sementara pada putaran kedua setelah rakyat memilih kandidat, maka akan didapat dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak.
Di sinilah partai politik membangun berkoalisi, bukan untuk menentukan siapa capres-cawapres, tetapi menentukan siapa yang akan mereka dukung dalam pemilihan putaran kedua itu.
Menurut saya itulah makna dari norma Pasal 6A UUD NRI 1945 itu. Upaya untuk menciptakan pilpres satu putaran hanyalah kehendak partai-partai besar untuk mendominasi kekuasaan, bukan kehendak rakyat.
Kehendak konstitusi yang sesungguhnya adalah rakyat yang menyaring calon dalam putaran pertama, dan menentukan presiden dan wakil presiden dalam putaran kedua. Maka dengan demikian calon kuat yang ditentukan oleh elite dominan bisa terdepak setelah adanya seleksi rakyat.
Maka dari itu, melihat hasil survei yang menempatkan capres-cawapres di bawah angka 50 persen dan keinginan konstitusi agar rakyat menyaring langsung kandidat dalam putaran pertama, cukup beralasan pilpres memang harus dilaksanakan 2 putaran.
Untuk putaran kedua ini, bisa saja calon yang unggul di putaran pertama akan kalah dalam putaran kedua. Seperti Pilkada DKI misalnya pada putaran pertama, pasangan Basuki-Djarot menjadi pemenang dengan raihan suara 42,96 persen. Pasangan Anies-Sandi 39,97 persen, dan Agus-Sylvi 17,06 persen. Setelah pemilihan putaran kedua, Anies-Sandi 57,96 persen, Ahok-Djarot 42,04 persen.
Mungkin kenyataan ini menakutkan bagi kandidat yang unggul dalam putaran pertama, karena sudah melihat kemenangan tiba-tiba kalah dalam putaran kedua. Ini tentu menyakitkan.
Terlepas Pilpres 2024 dilaksanakan dua putaran atau satu putaran, tugas kita adalah tetap menjaga kekompakan sebagai sebuah bangsa, menjunjung tinggi sportivitas dalam kompetisi, menghargai perbedaan pilihan masing-masing, dan yang penting pemilu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.