SAYA menghabiskan waktu pada penghujung 2023 dengan long run, berlari dengan jarak dan waktu tempuh yang lebih lama dari biasanya. Biasanya saya berlari minimal lebih dari 15 kilometer selama lebih dari dua jam. Dihajar kesibukan sehari hari yang seakan tak pernah melandai, membuat aktivitas “me time” saya sedikit tersendat. Akibatnya, daya hidup melemah, idealisme terasa jumud.
Mudah saya mengenali keseimbangan diri yang mulai “terganggu” semacam itu. Ketika daya antisipasi saya pada persoalan persoalan sehari hari baik di kantor maupun di rumah jadi semakin mekanis, teknis, rutin, itu artinya saya harus segera lari ke jalan, menikmati perjumpaan dengan diri sendiri lewat krida tubuh: berlari.
Entah kenapa berhadapan dengan gerakan yang sangat sederhana, diulang ulang, repetitif: mengangkat kaki, lalu menjejak tanah, mengangkatnya lagi, menjejakannya lagi, terus menerus hingga ratusan hingga ribuan, mungkin juga jutaan kali secara bergantian terus menerus kanan dan kiri---tentu dibantu dengan gerak tangan dan pengaturan nafas---saya mengalami situasi yang kembali kosong. Pikiran lalu menjadi rileks, santai, menenangkan.
Situasi kekosongan yang dirasakan bukan kondisi kekurangan. Tapi justru kekosongan yang penuh arti, kosong yang isi. Saya sulit menjelaskan situasi penyadaran diri ini secara lebih gamblang.
Yang terang, ketika saya berlari, dalam tubuh yang terasa ringan, plastis, dan rileks, ketika otak dipenuhi oksigen dan hormon endorphin, saya justru jadi semakin fokus pada persoalan-persoalan kehidupan. Saya terasa menguasai ruang dan waktu karena pikiran jadi terbuka dan fokus. Dalam situasi ini, yang kerap terjadi adalah keajaiban keajaiban, misalnya penemuan ide-ide segar, terobosan pemikiran yang tak diduga-duga sebelumnya.
Saya sering menemukan perspektif-perspektif baru untuk ikut urun rembug dalam persoalan bangsa yang lalu ditulis sebagai kolom dalam Pojok KC ini, misalnya justru kerap muncul dalam lintasan lari.
Selama setahun belakangan saya memang jadi produktif menulis kolom. Selain dikondisikan deadline –redaktur yang meneror saya setiap Senin pagi dengan pesan singkat di telepon genggam, agaknya tubuh yang jadi santai karena rutin bergerak saya yakin juga jadi pendorongnya.
Seperti yang bisa dibaca, saya hampir menulis apa saja, cerita perjalanan, dunia klangenan dan hobby, situasi sosial dan politik nasional dan dunia, hingga persoalan persoalan remeh namun aktual di masyarakat.
Saya memang agak memaksakan diri untuk mendisiplinkan olah pikir dengan menulis kolom Pojok KC. Bagi saya, olah pikir hanya kelanjutan dari olah gerak yang rutin saya lakukan.
Dalam lalu lintas ide dan peristiwa yang sangat cepat, berseliweran, silih berganti perlu ada pemaknaan terus menerus. Sebab, seringkali, karena keterbatasan waktu dan ‘kemalasan,’ wartawan bisa menjalani aktivitasnya dengan rutin, begitu-begitu saja, ‘pas bandrol’, kegairahan berkurang, vitalitas memudar dan kreativitas macet.
Saya merasakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang didapat dari menjalani kegiatan jurnalisme selama hampir 30 tahun ini, harus dijadikan upaya membantu warga memahami persoalan persoalan aktual secara lebih luas.
Lewat tulisan Pojok KC, tvOnenews.com harus mampu memberikan informasi mendalam soal konfigurasi baru yang terjadi, menjelaskan duduk soal peristiwa peristiwa yang datang dan pergi dengan cepat. Dengan keterbatasan, kami ingin memberikan arah, navigasi yang seharusnya dituju oleh ‘kapal besar’ Indonesia.
Demikian, berlari bagi saya adalah proses refleksi. Kini tanpa terasa tahun tahun cepat berlalu, kita telah berada dasawarsa kedua abad ke-21. Padahal, sepertinya baru kemarin kita menghadapi kecemasan akan tibanya milenium baru ini. Masih terbayang diskusi-diskusi di penghujung 1999 menuju 2000 lalu, kita tercekam kecemasan bahwa ada yang belum disiapkan oleh komputer menghadapi tahun yang akan diisi oleh tiga buah nol. Dunia yang semakin tergantung dengan komputerisasi akan ambruk dan kacau balau.
Saya ingat foto di sebuah majalah berita saat itu, seseorang mengangkat poster bernada khawatir di tengah orang lalu lalang di Times Square Garden, New York: “Kiamat sudah dekat”. Teknologi semakin mengambil alih tugas tugas manusia. Ancaman disrupsi dalam sistem digital terasa sangat mengkhawatirkan.
Dan kini setelah adaptasi dilakukan, rasa cemas itu kita tahu justru bukan karena teknologi yang menguasai segalanya, tapi datang dari sumber yang berulang: perilaku manusia. Dunia tetap dipecah-pecah, dibagi-bagi oleh rivalitas dan konflik. Ketegangan di antara kekuatan-kekuatan besar dunia terus membayangi di Selat Taiwan, Laut China Selatan, dan Semenanjung Korea.
Belum usai dengan perang Rusia-Ukraina di Eropa mereda, setiap anak yang lahir di Palestina, misalnya harus menghadapi ancaman tercabut nyawanya setiap saat, bahkan ketika ia ada di tempat ibadah ataupun rumah sakit. Dalam gempuran prajurit Israel yang mirip buldoser yang tak punya hati, hanya dalam 84 hari serangan saja ada 106 wartawan yang gugur di medan perang.
Persis seperti sejarah abad 20, pada alaf baru ini dunia tetap tak aman meski perang dingin mereda. Pada 1989, Francis Fukuyama, seorang ahli kebijakan pada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menulis makalah untuk sebuah majalah hubungan internasional berhaluan kanan, The National Interest.
Dalam artikel sepanjang 18 halaman, (belakangan dikembangkan jadi buku berjudul The End History and The Last Man) dengan provokatif Fukuyama menyebut dunia tengah memasuki akhir sejarah dan dari analisanya terhadap perkembangan sejarah itu, tak terbantahkan lagi bentuk organisasi yang ideal dan paling unggul adalah, demokrasi liberal yang terikat pada pasar.
Dunia secara sistem politik memang semakin monolitik. Demokrasi liberal dipercaya paling efektif menciptakan kemakmuran, termasuk dipraktekan di Indonesia. Namun, kita lihat di sini yang mengemuka di tanah air adalah sisi keserakahan kapitalismenya saja. Ada perlakuan sangat istimewa untuk pemodal asing.
Sementara, di sisi lain, negara semakin keras mengawasi dan menekan warga negaranya. Hukum terasa seperti pisau yang sangat tajam pada warga negara, tapi majal untuk penyelenggara negara. Menjadi oposan pemerintah hari-hari ini adalah tindakan yang berani. Mereka yang di sisi seberang rezim bisa dijadikan tersangka kapan saja dengan kasus apa saja.
Tapi, dalam kondisi segelap apapun, selalu ada orang orang yang memilih menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Rocky Gerung berada di barisan itu. Ia mempertaruhkan kebebasan pribadinya untuk memperjuangkan kebebasan berpikir warga negara. Ia seperti tak mengenal lelah, berperan sebagai lalat pengganggu bagi negara yang seringkali seperti lembu yang besar, lamban dan malas.
Tak bisa tidak, mulai 2024 pemerintah mesti lebih giat bekerja. Tak bisa terus menerus minta dimaklumi dengan berlindung di balik isu ketidakpastian global dan gejolak ekonomi dunia. Bagaimanapun bangsa ini harus bisa merangkak keluar dari kepongpong mediokritas. Kita tak bisa terus menerus terperangkap jadi yang “biasa-biasa”; “bukan negara kaya” tapi bukan “negara miskin”.
Karenanya jebakan middle income trap harus disudahi. Pertumbuhan ekonomi harus bisa digenjot di angka minimal 7 persen.
Bonus demografi yang sekarang sedang kita alami harus sepenuhnya tertuju untuk mendapatkan “lompatan jauh ke depan”. Ini harus dilakukan segera oleh siapapun yang memimpin Indonesia kelak agar pada saat Indonesia Emas (2045) kita tidak jadi bangsa yang “tua sebelum kaya”.
Percayalah, jadi tua sebelum kaya adalah kondisi yang tersial sebagai bangsa. Dan kita tak ingin mengalaminya.