Sidang pemeriksaan pendahuluan untuk laporan dugaan pelanggaran kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, digelar Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (1/11).
Sidang yang dipimpin Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie, terkait Perkara Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi No. 2/MKMK/L/ARLTP/10/2023, yang dilayangkan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.
Koordinator Perekat Nusantara, Petrus Selestinus menyampaikan, dalam laporannya termuat dugaan pelanggaran kode etik Anwar Usman dalam memutus perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu, yang diregistrasi dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dijabarkan Petrus, putusan MK itu mengubah bunyi aturan terkait batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), yang intinya membolehkan kepala daerah yang belum berusia 40 tahun menjadi capres atau cawapres.
Terlebih, Salestinus mendapati Pemohon perkara tersebut adalah Almas Tsaqibirruu Re A, yang tercatat sebagai mahasiswa Universitas Surakarta sekaligus penggemar Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
"Kasus nepotisme Anwar Usman yang sekarang disebut megaskandal, yang menimpa MK saat ini, seharusnya dijadikan momentum perbaikan penegakan hukum," ujar Salestinus dalam persidangan.
Dugaan etik Anwar atas fakta-fakta yang terungkap, dijelaskan Salestinus, juga tampak dari beberapa perkara uji materiil serupa yang justru ditolak MK.
"Apa yang terjadi saat ini di MK karena faktor nepotisme telah merusak sendi-sendi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan adil sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini tidak sekadar melanggar etika, tetapi juga melanggar pasal 24 UUD 1945," tuturnya.
Oleh karena itu, Salestinus memohon kepada MKMK agar memutus secara adil laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dan diharapkan tidak ikut terlibat dalam politik praktis yang kini sedang menjamur jelang Pilpres 2024.
"Ketua Majelis MKMK Prof Jimly Asshiddiqie harus bisa menjaga dan mengembalikan asas kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan asas kemandirian MK dan MKMK, guna memulihkan kepercayaan publik yang sudah berada di titik nadir," ucapnya.
"Itu karena melihat ulah sebagian Hakim Konstitusi, yang mengorbankan marwah, martabat, dan keluhuran Hakim Konstitusi dan menjadikan dirinya dan institusi MK sebagai alat politik," demikian Salestinus.