Para petani dan pengusaha perkebunan kelapa sawit tengah resah. Hal ini dipicu oleh aksi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang secara serampangan memasukkan lahan sawit mereka ke dalam Kawasan Hutan.
Pengusaha sawit yang juga Komisaris Paya Pinang, Kacuk Sumarto mengatakan, kebijakan tentang penataan perkebunan kelapa sawit yang memasukkan kebun sawit ke dalam Kawasan Hutan memicu rasa waswas di kalangan petani dan pengusaha.
"Dengan adanya batasan ketentuan ini, ada rasa waswas dari pelaku usaha, terkait keberlangsungan usahanya. Ketidakpastian ini akan berdampak pada rasa ketidaksenangan usaha dan keamanan investasi itu sendiri," ujar Kacuk dalam podcast Akbar Faizal Uncensored, yang dikutip Rabu (1/11).
Kacuk mengingatkan, pemerintah harus memperhatikan permasalahan di lapangan, serta keresahan-keresahan di masyarakat dan pengusaha yang memicu kriminalisasi, yakni sejak kebun sawit dimasukan dalam Kawasan Hutan.
Padahal, jelas Kacuk, ada banyak perkebunan kelapa sawit yang sudah mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) dengan proses panjang dan secara benar sesuai ketentuan undang-undang. Namun kenapa kemudian oleh KLHK dimasukkan ke dalam Kawasan Hutan.
"Ini persoalan penting, tak sebatas soal denda administrasi (yang hendak diberlakukan oleh pemerintah, red). Yang perlu diingat adalah jangan menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum. Penuhilah dahulu hukum-hukumnya, baru itu ditegakkan," tegasnya.
Untuk itu, Kacuk pun meminta pemerintah jangan hanya bisa menyalahkan saja. Harus menunjukkan secara jelas pelanggaran apa yang terjadi, dan pelanggaran terhadap apa? Juga harus jelas Kawasan Hutan yang mana yang dilanggar dan bagaimana pelanggaran itu bisa disebut pelanggaran?
Menurut Kacuk, banyak perusahaan yang mendapatkan HGU dengan proses melelahkan, tertib, dan mengikuti prosedur secara benar sesuai peraturan perundang-undangan.
Kacuk menjelaskan, dalam Undang-undang dinyatakan, proses mendapatkan HGU itu ada 4 hal. Pertama ditunjuk dulu, setelah itu diukur tapal batasnya, kemudian diklarifikasi di lapangan, baru dikukuhkan. Status dikukuhkan inilah maka perusahaan itu sudah secara sah dan legal mempunyai HGU dan dengan dokumen negara sah.
"Nah, fakta di lapangan, mohon maaf ini ugal-ugalan. Pemerintah dalam hal ini KLHK ugal-ugalan. Dia hanya menunjuk saja Kawasan Hutan. Sekali lagi Kawasan Hutan ditunjuk saja tanpa diukur dan sebagainya, lalu dipakai sebagai produk hukum yang mengenakan sanksi-sanksi tadi. Ini persoalannya," kritik Kacuk.
Kacuk mengakui memang ada segelintir perusahaan yang juga ugal-ugalan dan tidak mengikuti prosedur dengan benar. Namun jangan lantas karena segelintir itu semua perusahaan dan perkebunan disalahkan.
"Banyak perusahaan yang betul-betul memenuhi ketentuan UU. Berdasarkan UU Agraria itu untuk mendapatkan HGU panjang, meleset sedikit tidak dapat, karena syarat-syaratnya harus dilengkapi," paparnya.
"Dan dalam proses (terbitnya HGU) itu LHK itu tutur serta. Mbok ya kalau dia enggak setuju jangan dikasih sejak awal. Sekarang kan ibarat menjilat ludah sendiri," sambungnya.
Kacuk pun meminta jika ada persoalan atau perselisihan, harusnya dicarikan jalan keluar secara baik. Apalagi dalam penetapan Kawasan Hutan ini juga banyak persoalan.
Kalau ada persengketaan dengan perusahaan, bisa dilihat dulu validitas HGU-nya melalui BPN. Kalau sudah ada, benar tidak ini memang masuk Kawasan Hutan, sebutnya.
Sementara itu, pakar Hukum Kehutanan, Sadino menjelaskan, kisruh tentang lahan sawit dan Kawasan Hutan ini adalah problem yang terjadi sejak lama. Namun normanya belum terselesaikan, sehingga terjadilah dispute (sengketa).
Sadino mengatakan, sebenarnya di luar UU Kehutanan di Indonesia ada juga UU tentang Penataan Ruang. Jadi sejak lahan-lahan ditunjuk itu sebenarnya sudah masuk tata ruang, di mana ditetapkan ada kawasan hutan dan nonkawasan hutan.
"Jadi tentu mayoritas perusahaan perkebunan yang lahir dan berkembang sebelum tahun 2000-an itu lahir karena memang ada tata ruang itu. Kalau sudah tata ruang artinya dibolehkan. Akhirnya, antara tata ruang dan kehutanan tidak pernah titik temu. Karena petanya masing masing," jelas Sadino.
Sadino mengaku mendukung pembentukan Satgas Penataan Perkebunan Kelapa Sawit, supaya dapat menyelesaikan sengketa lahan sawit dan Kawasan Hutan.
Harapannya, lanjut Sadino, tentu mengacu kepada yang eksisting. Artinya kalau memang dulu dasar hukumnya adalah legal, ya sekarang jangan langsung dikatakan tidak legal.
Dalam menyelesaikan persoalan ini, tutur Sadino, ada 3 status yang harus dipilah-pilah. Pertama, kawasan yang sudah ada hak atas tanah. Kedua, yang belum ada hak atas tanah tapi punya izin. Dan ketiga, yang memang tak ada izin sama sekali, alias merambah hutan.
"Dan ini silakan disikat saja," ucapnya.
Maka itulah, Sadino menyebut sejak ada UU Cipta Kerja, diatur apabila punya perkebunan yang sudah terbangun dan punya izin lokasi dan atau IUP, maka akan diberikan waktu menyelesaikan hingga 2 November 2023.
"Ini (izin lokasi dan atau IUP) adalah izin awal dalam perkebunan. Tapi kalau sudah HGU, itu sudah final dan menjadi dokumen negara. Jadi (yang ditata) yang punya izin lokasi dan IUP. Kalau sama sekali tak izin baru langsung (diselesaikan)," tandasnya.