Hubungan PDI Perjuangan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) makin memanas. Saling tuding main drama pun terjadi.
Misalnya saja, ketika Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menangis hingga napasnya tersedak saat di podcast Akbar Faisal. Hasto menangis menceritakan keputusan Presiden Jokowi yang dianggap telah menghinati PDIP dan Megawati.
Termasuk sindiran-sindiran yang disampaikan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Kemudian sindiran Ganjar Pranowo saat pidato usai pencabutan nomor urut.
Selain itu, PDIP juga sudah terang-terangan mengkritisi pemerintahan Jokowi. Salah satunya pernyataan Puan Maharani soal kawan menjadi lawan.
Pengajar dan Peneliti pada Departemen Ilmu Politik Fisip Unhas Andi Ali Armunanto menilai semua ini adalah bentuk strategi yang sekarang dimainkan oleh PDIP. Sebab kehilangan Jokowi adalah menjadi kekecewaan mendalam bagi PDIP.
Kekecewaan itu tidak hanya dialami PDIP saja, akan tetapi, juga ditunjukkan publik. Sehingga itu menjadi strategi baru bagi PDIP untuk mengubah simpati publik.
"Kerugian besar PDIP dari kehilangan Jokowi adalah dia tidak bisa lagi menikmati Jokowi effect (efek Jokowi)," kata Ali, Kamis, 16 November.
Menurut Ali, selama ini PDIP sangat diuntungkan dengan Jokowi effect terhadap perolehan suara dan segala macam. Itu sangat diuntungkan dan itu tidak bisa lagi dimanfaatkan. Nah, sekarang strategi yang paling jitu adalah merubah Jokowi effect menjadi antitesis dari Jokowi effect itu.
Antitesis dari Jokowi effect itu adalah pertunjukan drama-drama penghianatan. Harapannya, itu akan menggugah rasa iba dan perasaan publik. Partai yang dahulu membesarkan Jokowi, terus kemudian dikhianati Jokowi. "Cerita drama itulah yang sengaja diciptakan untuk mendapatkan simpati," jelasnya.
Toh, dahulu di zaman awal berdirinya PDIP kata Ali, partai ini juga mendapatkan simpati dari publik dari hal seperti itu. Populisme Megawati di zaman itu muncul justru karena perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan dari rezim.
Nah, ini kemudian kembali digali bagi sebuah nostalgia bahwa PDIP dizolimi rezim, tetapi dalam bentuk kezoliman yang lain. "Kezalimannya adalah penghianatan," tegasnya.
Itulah yang dieksploitasi oleh PDIP untuk mendapatkan simpati publik dan mendapatkan keuntungan-keuntungan elektorat. "Inilah kartu yang sedang dimainkan PDIP," pungkasnya.
Di lain sisi, tanpa Jokowi effect, PDIP akan kewalahan di Pilpres. Hal tersebut kata Ali bisa dilihat ketika Prabowo pindah ke Jokowi, di mana dukungan-dukungan yang diberikan Jokowi ke Prabowo itu sangat berefek.
Popularitas dan elektabilitas Prabowo melejit. Di sisi lain, Ganjar tetap stagnan tanpa dukungan Jokowi, walaupun sudah menggandeng Mahfud MD.
Jadi memang salah satu cara yang paling jitu adalah menjadikan Jokowi sebagai antitesis dari PDIP, kemudian mengundang simpati publik sebagai romantisme yang pernah dulu dialami PDIP di masa orde baru.
"Jadi saya rasa, pidato Ganjar juga menunjukkan hal yang sama. Juga disampaikan Aiman yang konferensi pers terkait kecurangan-kecurangan. Kemudian drama-drama yang ditunjukan oleh Hasto," sebutnya.
Hasto sudah dua kali menangis di hadapan publik. Itu tentu bagian dari strategi PDIP untuk menarik simpati publik.
"Mereka ingin menunjukkan bahwa orang yang dizalimi dan berharap ini akan kembali memunculkan popularitas romantisme publik terkait apa yang terjadi dengan Mega di masa lalu," sebutnya.
Sebelumnya, saat menghadiri acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-59 Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat, Jokowi pernah mengungkap bahwa akhir-akhir ini terlalu banyak drama sinetron mewarnai Pilpres 2024.
"Saya melihat akhir-akhir ini terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya," ujar Jokowi kala itu.
Padahal, menurut Jokowi, pertarungan Pilpres 2024 harus diisi dengan gagasan dan ide. "Kalau yang terjadi pertarungan perasaan, repot semua kita," kata dia.