Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan sikap terbaru negaranya terhadap konfliknya dengan milisi Palestina di Gaza, Hamas. Hal ini diucapkannya dalam sebuah wawancara dengan ABC News, Selasa (8/11/2023).
Dalam wawancara tersebut, Netanyahu menyebutkan adanya kesulitan dalam serangannya terhadap Hamas di Gaza, terutama dalam menghindari korban sipil di wilayah itu yang telah menembus 10 ribu jiwa. Ia berjanji Israel akan berupaya penuh untuk mengurangi jumlah warga sipil yang tewas di Gaza.
"Tidak ada cara untuk mengalahkan teroris yang tertanam dalam populasi, namun sayangnya akan ada korban sipil," paparnya dalam wawancara tersebut.
Netanyahu pun melanjutkan dengan mengatakan Israel telah menerapkan jeda kemanusiaan untuk memberikan bantuan ke Gaza. Namun menurutnya, tidak akan ada gencatan senjata secara umum hingga pembebasan sandera dilakukan oleh Hamas.
"Salah satu cara yang efektif dalam melawan Hamas adalah tekanan militer, yang saat ini kita lihat," tambahnya.
"(Jika Hamas memberikan para sandera), akan ada gencatan senjata untuk tujuan itu. Kami menunggu momen-momen itu namun hingga saat ini belum terjadi."
Israel sejauh ini telah mengepung dan membelah Gaza menjadi dua bagian. Ini dilakukan sebulan setelah Hamas melakukan serangan mematikan di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober, menewaskan 1.400 warga Israel dan menyandera sekitar 240 orang.
Meski menyebut hanya menargetkan Hamas, namun serangan balik Israel telah menewaskan hingga lebih dari 10.000 jiwa warga Gaza yang mayoritas merupakan warga sipil.
Israel pun juga memutus aliran blokade logistik, internet, listrik, dan air ke Gaza, dengan dalih memberikan tekanan bagi Hamas. Namun hal ini telah berdampak pada kehidupan warga sipil, khususnya dalam aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan karena kurangnya pasokan logistik sementara korban semakin berjatuhan.
Menteri Warisan Israel Amichai Eliyahu menyatakan bahwa senjata nuklir bisa menjadi pilihan dalam konflik yang sedang berlangsung dengan Hamas saat ini di Gaza. Namun hal ini mendapatkan bantahan dan penolakan dari Netanyahu dan juga negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS).