Pengamat Politik Efriza menuturkan wajarnya hak angket digunakan DPR untuk memeriksa kesesuaian kebijakan lembaga eksekutif terhadap undang-undang.
Hak angket yang digunakan PDIP untuk memprotes Mahkamah Konstitusi (MK) dan putusannya, khususnya perkara nomor 90/PUU-XII/2023, dinilai tidak tepat.
Namun dia melihat hak angket yang dipakai Fraksi PDIP di DPR RI saat ini mempunyai maksud politis.
Efriza menyebutkan, maksud politisnya adalah mematahkan pencalonan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres.
Baca Juga: 3 Calon KSAD, Maruli Simanjuntak Paling Kuat, Suharyanto dan Nyoman Siap Menyusul
"Jika PDIP hanya menggunakan hak angket terkait Gibran semata, kemudian dimaksudkan digunakan untuk menyelidiki putusan MK semata, tentu itu kesalahan fatal," ujar Efriza, Sabtu (4/11).
Pengajar ilmu pemerintahan Universitas Pamulang (UNPAM) itu menjelaskan, dalam UU 13/2019 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), syarat mengajukan hak angket tidaklah mudah.
"Syaratnya adalah 25 orang dan lebih dari 1 fraksi. Hal terberatnya adalah materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki, dan alasan penyelidikan," urainya.
Soal materi kebijakan, Efriza memandang hak angket ditujukan kepada lembaga eksekutif, sehingga dia memandang tidak tepat jika hal itu dimaksudkan untuk menyelidiki kebijakan lembaga yudikatif.
"Hanya saja diyakini, melalui hak angket PDIP mengharapkan terbuka soal dugaan intervensi dari eksekutif kepada MK, sehingga keputusannya tercoreng," tuturnya.
Kendati begitu, Efriza menganggap wajar jika PDIP menunggu keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang memproses perkara etik Ketua MK Anwar Usman beserta 8 hakim konstitusi lainnya.
"Jika DPR ingin melakukan penggunaan hak angket yang tepat, sebaiknya menunggu keputusan MKMK," demikian Efriza menambahkan.