Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi melakukan pengundian nomor urut bagi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang berlaga di Pemilu 2024.
Hasilnya, pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskadar (Cak Imin) mendapatkan nomor urut 1 dan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendapat nomor urut 2. Sedangkan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud Md mendapat nomor 3.
Dalam pengundian nomor urut capres-cawapres ini, KPU menggunakan mekanisme dua tahap. Pertama, adalah pengambilan nomor antrean untuk mengambil nomor urut dilakukan oleh cawapres.
Cawapres yang mengambil nomor urut pertama adalah Muhaimin Iskandar (Cak Imin) karena ia melakukan pendaftaran pertama ke KPU, disusul oleh Mahfud Md diurutan kedua dan Gibran di urutan ketiga.
Setelah itu, pengambilan nomor urut pasangan calon dilakukan oleh capres. Anies menjadi capres pertama yang mengambil, disusul Ganjar dan Prabowo.
Semua paslon pun diberikan kesempatan berpidato. Di mana ketiganya menyinggung soal pelaksanaan Pemilu agar berlangsung jujur dan adil, demi menjaga demokrasi yang baik.
Misalnya saja, Cawapres Cak Imin menyatakan, rakyat Indonesia harus menikmati Pemilu 2024 dengan riang gembira, bersifat kebersamaan, serta kekeluargaan dalam berkompetisi.
“Tetap berkeluarga dan bersaudara, Amin. Kita semua yakin kalau kita melihat Pemilu seperti sepak bola, maka rakyat punya kesempatan untuk menyaksikan dengan bahagia. Kalau ada pemain yang bersifat curang tolong diteriaki supaya tidak curang,” kata dia di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
“Kalau ada wasit merangkap pemain, kita foto dan kita sebarluaskan, kalau ada wasit yang curang kita laporkan kepada FIFA sebagai lembaga tertinggi. Kalau ada pemain yang nakal dan nekling lawan, foto dan viralkan ke seluruh penjuru, itulah Pemilu yang saling menjaga,” sambungnya.
Pemilu menurutnya adalah pertaruhan bagi Indonesia. Jika dapat berjalan baik, legitimate, hingga objektif maka bangsa akan tetap bersatu, kuat, dan berhasil membangun.
“Kalau Pemilu ini berjalan dengan jujur, adil, Insyaallah pembangunan akan lancar selancar-lancarnya. Ke Mamuju jangan lupa pakai sepatu, kalau ingin maju pilihlah nomor satu,” Cak Imin menandaskan.
Capres Prabowo Subianto pun merasa yakin bahwa KPU akan melaksankaan Pemilu dengan sebaik-baiknya.
"Dengan sejujur-jujurnya tanpa kecurangan apapun. Kalau Pemilu curang itu, mengkhianati bangsa rakyat Indonesia," kata dia.
Prabowo pun sepakat dengan apa yang disampaikan Cak Imin, yang dipanggil sebagai sebagai sahabat lamanya. "Saya juga sependapat dengan pasangan calon nomor satu, terutama yang disampaikan oleh Gus Muhaimin, sahabat lama saya," kata dia.
Sementara, Ganjar Pranowo dalam kesempatan pidatonya, dia menyinggung drama korea atau drakor yang berkaitan dengan demokrasi.
“Jadi kita mendapatkan nomor 3 itu pas, sesuai dengan sila ketiga, Persatuan Indonesia, kita satukan semuanya dalam proses politik yang menggembirakan. Bapak Ibu yang saya hormati, itulah kegembiraan yang seharusnya kita dapatkan, tapi beberapa hari ini kita sedang disuguhkan untuk menonton drakor yang sangat menarik,” tutur Ganjar di KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa (14/11/2023).
“Drama-drama itulah yang sebenarnya tidak perlu terjadi, dan malam ini memang seharusnya kita sedang memulai, memulai sesuatu perayaan demokrasi melalui pemilu, dan namun melihat situasi belakangan ini tentu kami mendengarkan banyak pihak,” sambungnya.
Ganjar menangkap kegelisahan dalam suasana kebatinan yang muncul di masyarakat, baik dari tokoh agama, guru bangsa, seniman, budayawan, jurnalis, hingga aktivis mahasiswa.
“Dan semuanya sedang menyuarakan kegelisahan itu. Kewajiban kita Bapak Ibu untuk menjaga, karena kalau kita merasakan itu, rasanya demokrasi harus kita pastikan bahwa demokrasi bisa baik meskipun sekarang belum baik-baik saja. Kita harus sampaikan itu,” jelaa dia.
Ganjar mengaku yakin masyarakat Indonesia dapat menjaga berjalannya demokrasi khususnya dalam Pilpres 2024.
“Saya tenang kok, dan kami ini tenang semua, karena kami sangat yakin ada rakyat Indonesia bersama kami untuk menjaga demokrasi di negeri ini,” Ganjar menandaskan.
Nomor Urut Tak Berdampak, Tergantung Tokohnya
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan mengatakakan, nomor urut untuk pertarungan capres-cawapres, tak ada pengaruhnya terhadap elektoral.
"Unsur figuritas lebih menentukan elektabilitas capres cawapres, bukan nomor urutnya. Hal ini dapat dilihat dari kandidasi capres-cawapres yang sudah kita lalui pada saat pencalonan baru-baru ini. Sebenarnya, masyarakat sudah ikut melihat dan menilai sosok figur yang ikut pencalonan para capres-cawapres dan sosok definitif yang diusung koalisi partai politik untuk pendaftaran mereka sebagai peserta pemilu," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (14/11/2023).
Usai pengundian nomor, tentu tahapan kampanye akan segera memulai. Devi pun melihat, situasi politik sudah memanas sejak awal, meskipun baru hanya dikalangan elit.
"Namun dalam perkembangan pencalonan, kita lihat masyarakat sudah ikut dalam perkembangan opini dan sudah ada persepsi publik yang terbentuk yang tentunya masih akan berkembang selama kampanye hingga tahapan pungut hitung pada februari mendatang," jelas dia.
Menurut dia, persepsi publik ini terlihat pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batasan usia capres dan cawapres. Bahkan, berbagai survei misalnya saja sudah melihat isu terkait dinasti politik.
"Kondisi ini menunjukan sudah ada persepsi publik yang terbentuk yang mengiringi penilaian publik terhadap salah satu pasangan calon dan dinamika dalam kontestasi elektoral. Perkembangan persepsi publik ini akan terus berlanjut dan akan sangat bergantung pada narasi, gagasan, dan program yang dikembangkan tiap pasangan calon pada masa kampanye capres cawapres," tutur Devi.
Karenanya, dia mengingatkan, masyarakat yang eligible sebagai pemilih, tanpa melihat apakah ia pemilih muda, pemula, atau bukan, tanpa terkecuali perlu diinformasikan untuk dapat menggunakan hak pilihnya secara cerdas, terutama untuk menyerap informasi secara lebih teliti dan tidak mudah terbawa narasi kampanye yang mengandung unsur kebencian, hasutan dengan menggunakan dasar identitas atau SARA, agar tidak mengarah pada perpecahan didalam masyarakat.
"Bahwa perbedaan pilihan memang diperkenankan dalam menentukan kepada siapa hak pilihnya diberikan, namun masyarakat perlu ekstra hati-hati akan segala informasi yang diperoleh dan mewaspadai iming-iming yang diberikan oleh pihak manapun agar tidak termakan bujuk rayu untuk memberikan suaranya pada paslon tertentu begitu saja," ungkap Devi.
Senada, Dosen Departemen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Arga Pribadi Imawan melihat para pemilih sekarang memiliki kedewasaan, sehingga tidak melihat partai politiknya, tapi kepada tokoh yang maju. Sehingga, nomor urut jelas tidak terlalu signifikan terhadap kenaikan elektabilitas paslon dan condong melihat gagasan apa yang dibawa oleh para paslon.
"Jadi gagasan apa yang dibawa, (melalui) visi-misi yang termaktub dalam dokumen yang sudah tersebar publik saat ini, jadi mereka akan mempelajari itu. Dan (masyarakat mengkaji) apakah semua itu (visi-misi paslon) relevan dengan apa yang diinginkan oleh pemilih terhadap pemimpin masa depan di Indonesia ini," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (14/11/2023).
Meski memanas, Arga menuturkan, situasi politik di Pemilu 2024 ini akan berbeda 2019. Pasalnya, di Pemilu sebelumnya ada momentum Pilkada DKI Jakarta yang membuat isu politik identitas masih berlarut-larut dan panas.
"Di 2024 ini, kita dipertontonkan terhadap keselarasan program yang akan dibawa oleh setiap paslon capres dan cawapres," tutur dia.
Arga pun mencontohkan, bagaimana situasi politik tak menghangat. Yakni, berdasarkan analisis big data Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM setiap paslon akan melanjutkan gagasan ide terkait dengan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, yang artinya semua paslon mempunyai gagasan yang hampir sama.
"Dan menurut saya ini akan cukup signifikan, karena semuanya akan membawa IKN yang di mana ini menyuarakan program Jokowi, jadi secara otomatisa gagasan atau kampanye yang akan dikeluarkan nuasanya akan sama itu. Dan tentu saja ini tidak akan sepanas dengan apa yang terjadi di Pemilu-Pemilu sebelumnya," ungkap Arga.
Dia pun melihat, walaupun IKN tak menjadi agenda prioritas atau tak tersirat dari pasangan calon Anies Baswedan-Cak imin, namun ketiga paslon capres dan cawapres akan menjadikan IKN sebagai isu yang perlu direspon.
"Dengan demikian, ketiga paslon capres dan cawapres yang memandang IKN sebagai isu penting, dan pada akhirnya masa kampanye kedepan akan lebih ramai di kalangan atas," tutur Arga.
Karena itu, dengan situasi yang tidak terlalu memanas seperti Pemilu 2019 ini, dia meminta masyarakat menjadi active citizens (keterlibatan warga yang aktif) dari proses politik, misalnya bisa melakukan tindakan atau melapor terhadap jenis pelanggaran Pemilu yang berada di wilayah masing-masing.
"Misalnya salah satu contoh di kota Yogyakarta beberapa waktu lalu dari Bawaslu Kota Yogyakarta telah mencopot hampir 320 kurang lebih ya, 320 baliho yang disitu nuansanya kampanye, padahal hingga detik ini kita masih pada sosialisasi politik, tetapi sudah banyak yang ada indikasi untuk mencoblos nomornya, itu sebenarnya belum boleh untuk di masa ini. Jadi Bawaslu kemudian mendapat banyak laporan wagr dan karena mengganggu visual wilayah mereka, dan belum masuk kampanye, akhirnya Bawaslu Kota Yogyakarta mencopot atribut itu," ungkap Arga.
"Ini menurut saya sangat signifikan ya, karena itu menunjukan pola-pola active citizens yang dilakukan oleh warga Kota Yogyakarta. Dan itu sebetulnya harus dilakukan oleh pemilih di wilayah daerah masing-masing," katanya.
Peluang Konflik Politik Tetap Akan Ada
Akademisi Universitas Airlangga Surabaya yang juga pengamat komunikasi politik, Suko Widodo memandang nomor urut yang telah dikantongi oleh tiga paslon yang akan saling bertarung jelas tak akan mempengaruhi satu sama lain, sehingga memiliki kekuatan yang relatif sama.
Yang perlu dilihat, lanjut dia, kegaduhan politik di Pemilu 2024 ini sangat berbeda dari Pemilu sebelumnya. Karena menjelang perhelatan diwarnai dengan perubahan dari infrastruktur politik, salah satunya berkaitan dengan putusan MK.
"Kemudian dampaknya juga kita tahu, misalnya terjadi pencopotan Ketua MK dan sebagainya, itu membuat aura politik ini lebih keras dibanding lima tahun lalu. Selain infrastruktur politik, juga partisan politik," kata Suko kepada Liputan6.com, Selasa (14/11/2023).
Menurutnya, fenomena politik yang terjadi dan kemudian membawa narasi besar yang dikaitkan dengan sistem demokrasi di Indonesia, jelas bisa dibuat menjadi konflik politik yang besar.
"Itu yang kemudian berpotensi akan menimbulkan potensi konflik yang lebih besar," tutur Suko.
Dia pun menduga, hal ini bisa saja membuat masyarakat menjadi apatis dan antipati terhadap pertarungan Pemilu 2024 ini, sehingga dianggap tak ada kedinamisan terhadap demokrasi yang ada.
"Terkecuali misalnya, para kandidat itu bisa memberikan keyakinan baru bagi masyarakat. Masyarakat sekarang mengalami kebingungan yang cukup mengacaukan pikiran karena logika mereka mengalami kekagetan dengan perubahan kondisi. Tentu saja dalam hal ini butuh kecerdasan yang lebih dibanding tahun-tahun lalu," ungkap Suko.
Dia pun berharap masyarakat bisa lebih rasional, karena melihat visi-misi, program yang ditawarkan. Dan yang paling penting menganggap perbedaan itu hal yang bisa, sehingga masyarakat bisa menjadi semakin dewasa.
Bahkan, lanjut Suko, anak muda justru melihat pertarungan di kampanye ini akan membuka mata mereka, mana paslon yang benar-benar membawa mimpi-mimpi mereka.
"Hebatnya anak muda itu tak sekeras orang tua. Kalau anak ini saya lihat berbeda itu diungkapkan saja, tetapi setelah diungapkn selesai mereka minum kopi, makan bareng. Jadi potensi konflik di kalangan milenial itu relatif tidak ada karena mereka lebih menerima perbedaan," tutur dia.
"Mereka akan tahu (melihat pertarungan di masa kampanye) oh politik itu begini memang," sambungnya.
Tim Kampanye Paslon Punya Peran Penting
Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Delia Wildianti menjelaskan, kampanye adalah pendidikan politik yang sangat penting untuk masyarakat, karena itu semua stakeholder harus memberikan pendidikan politik yg baik bagi masyarakat.
Untuk menjadikan masa kampanye sebagai pendidikan politik maka perlu komitmen dari capres cawapres, tim sukses, lembaga negara dalam melakukan pengawasan, dan masyarakat.
"Capres dan cawapres perlu mengisi ruang kampanye dengan perdebatan gagasan untuk kepentingan negara," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (14/11/2023).
Delia mengungkapkan, saat ini tim pemenangan ketiga capres juga sudah terbentuk, sehingga masing-masing tim pemenangan bertanggung jawab mengontrol manajemen isu kampanye agar tidak menimbulkan distorsi informasi dan kampanye liar di media sosial.
"Tim pemenangan juga dapat mendorong fact checking, mengisi perdebatan publik dengan data sehingga berkemungkinan meminimalisir semburan kebohongan," ungkap dia.
Dalam konteks pengawasan di masa kampanye, lanjut Delia, perlu ada perhatian terkait penyebaran informasi di kanal media sosial. Dalam hal ini negara perlu hadir dalam pengawasan dan penindakan terhadap hoaks, disinformasi, misinformasi, hate speech melalui sinergi antara Kepolisian, Kominfo, BSSN, dan Bawaslu.
"Selain sinergi antar lembaga negara, sinergi juga perlu dilakukan dengan organisasi masyarakat sipil yang banyak melakukan kerja-kerja untuk meminimalisir penyebaran berita bohong, disinformasi, misinformasi, dan hate speech," tuturnya.
Terakhir, kata Delia, peran publik menjadi sangat penting untuk lebih cerdas dalam mengelola informasi yang diterima saat masa kampanye.
"Publik tidak terjebak pada kepompong informatif (information cocoan), yakni lingkaran informasi yang searah, homogen, dan hanya memperkuat pandangan yang berdampak pada fanatisme kelompok netizen," pungkasnya.