Menteri Keuangan Sri Muliani melaporkan utang pemerintah kembali naik. Hingga akhir September 2023, total utang pemerintah tercatat tembus Rp 7.891 triliun, naik 6,34 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 7.420 triliun.
"Sampai dengan akhir September 2023, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 7.891,61 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 37,95 persen," kata Sri Mulyani dalam Buku APBN KiTa, Minggu (29/9).
Sri Mulyani menjelaskan, rasio utang tersebut menurun dibandingkan akhir tahun 2022 dan berada di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Rasio ini juga masih sejalan dengan yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah tahun 2023-2026 di kisaran 40 persen.
Bendahara negara itu menilai, pengelolaan utang pemerintah yang baik tercermin pada hasil asesmen lembaga pemeringkat kredit di tahun 2023 yang masih mempertahankan sovereign rating Indonesia pada level investment grade, antara lain oleh S&P dan Fitch (BBB/Stable), serta peningkatan outlook menjadi positif oleh R&I (BBB+/positive).
"Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang secara hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo," ungkap Menkeu.
Sejalan dengan kebijakan umum pembiayaan utang, untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap, komposisi utang pemerintah didominasi oleh utang domestik yaitu 72,07 persen.
Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa SBN yang mencapai 88,86 persen.
Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan tenor menengah panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif.
Per akhir September 2023, profil jatuh tempo utang Indonesia terbilang cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun.
Lebih lanjut, pengelolaan utang pemerintah melalui penerbitan SBN terus diupayakan untuk mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik, inklusi keuangan, serta upaya peningkatan literasi keuangan masyarakat dari savings society menjadi investment society.
Sejalan dengan hal tersebut, kepemilikan investor individu dalam SBN domestik terus mengalami peningkatan sejak 2019 yang hanya mencapai 2,95 persen menjadi 7,38 persen per Akhir September 2023.
Selanjutnya, bagi lembaga keuangan, SBN berperan penting untuk memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan likuiditas, serta menjadi salah satu upaya mitigasi risiko. Hal ini menjadikan perbankan sebagai pemilik SBN domestik terbesar, di mana per akhir September 2023 mencapai 29,73 persen, kemudian diikuti perusahaan asuransi dan dana pensiun yang memegang sekitar 18,35 persen.
Selain itu, kepemilikan oleh Bank Indonesia sebesar 16,91 persen antara lain digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter. Asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,95 persen termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing. Sementara, sisa kepemilikan SBN dipegang oleh institusi domestik lainnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan keuangan institusi bersangkutan.
Kemudian, guna meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang, pemerintah terus berupaya mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid.
Salah satu strateginya adalah melalui pengembangan berbagai instrumen, termasuk pula pengembangan SBN tematik berbasis lingkungan (Green Sukuk) dan SDGs (SDG Bond dan Blue Bond).
"Peranan transformasi digital dalam proses penerbitan dan penjualan SBN yang didukung dengan sistem online juga tak kalah penting, mampu membuat pengadaan utang melalui SBN menjadi semakin efektif dan efisien, serta kredibel," tandasnya.