Mahkamah Konstitusi secara resmi mengubah syarat capres dan cawapres dalam UU Pemilu. Itu dilakukan setelah ada permohonan nomor 90/PUU-XXI-2023.
MK menambahkan frasa pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang berbunyi "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah."
Namun pasca putusan MK itu, KPU belum merevisi Peraturan KPU (PKPU) 19/2023. Pasal 75 ayat (4) UU Pemilu menyatakan bahwa, "Dalam hal KPU membentuk Peraturan KPU yang berkaitan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat dengar pendapat."
Ketua KPU Hasyim Asyari mengatakan putusan MK tersebut bersifat akhir dan mengikat sehingga bisa langsung dijalankan.
Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum Tata Negara Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, Rusdianto Sudirman menilai, secara regulasi memang sah-sah saja bagi KPU untuk tidak melakukan perubahan pada PKPU. Sebab, putusan MK sudah berlaku sejak dibacakan.
”Kalau melihat regulasi yang ada, memaknai final and binding putusan MK itu memang berlaku sejak dibacakan. Cuma secara yuridis formal, kalau ada perubahan terkait aturan, apalagi soal pencalonan, seharusnya PKPU sigap merespon itu,” ujarnya kepada FAJAR, Selasa, 24 Oktober.
Lebih lanjut dia mengatakan, pada dasarnya tidak sulit bagi KPU jika ingin merubah. Hanya perlu menambahkan pasal yang diaesuaikan dengan putusan MK. Hanya saja, kondisinya kurang pas, sebab DPR juga sedang dalam masa reses.
”Masalahnya sekarang, konsultasi ke DPR itu yang susah dipenuhi karena masa reses. Sedangkan pendaftaran cuma sampai tanggal 25 Oktober. Sehingga KPU pakai tafsir yang lebih menguntungkan saja. Artinya, putusan MK berlaku sejak dibacakan meskipun tidak ada PKPU,” jelasnya.
Hal ini dinilai bisa saja memicu lahirnya gugatan dan sejenisnya, khususnya dalam proses Pemilu. Tinggal melihat saja teori mana yang akan diterapkan jika terjadi gugatan dan sejenisnya.
”Kalau teori final and binding kan jelas, berlaku sejak dibacakan di sidang terbuka untuk umum. Tetapi banyak putusan MK yang pemberlakuannya ditunda. Misalnya, tahun 2013 itu ada putusan bahwa Pemilu serentak dilakukan pada 2014. Tetapi kan ini ditunda lima tahun baru berlaku,” jelasnya.
Dengan kondisi ini, sah-sah saja bagi Gibran untuk maju sebagai bacawapres pendamping Prabowo.
Hanya saja, kondisi ini diyakini sangat berbau politik, khususnya dalam proses pengambilan keputusan di tingkat MK, yang terkesan dadakan dan menguntungkan Gibran.
”Ini yang tercium ada aroma dipaksakan. Orang menilai ini kan bukan cuma untuk Gibran, ada 12 kepala daerah yang di bawah 40 tahun. Tapi kan tidak ada yang akan menjadi cawapres, satu-satunya yang diuntungkan atas putusan ini ya Gibran. Itu pun karena dia anak Presiden dan keponakan Ketua MK. Jadi sulit kita percaya bahwa putusan MK itu tidak ada aroma politiknya,” ungkapnya.
Rusdianto pun menegaskan, poin pokoknya lagi pada penilaian siapa yang berkepentingan. Tetapi sudah mengarah kepada KPU yang berpotensi memiliki tugas tambahan selama Pemilu berlangsung, khususnya Pilpres.
”Jadi konteksnya, dari sisi hukumnya tidak begitu dipermasalahkan, tetapi KPU-nya dapat tugas tambahan. Apalagi ketika Pilpres berlangsung, itu bisa saja ini menjadi dalil sengketa proses pemilu dari salah satu tim hukum capres-cawapres lainnya,” jelasnya.