Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Mahkamah Konstitusi Banjir Kecaman, Bentuk MKMK Tangani Puluhan Laporan

 

Mahkamah Konstitusi (MK) banjir kritik setelah putusan kontroversial batas usia capres-cawapres. Hakim MK juga dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik.

Merespons banyaknya kritikan tersebut, MK segera membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk menindaklanjuti aduan masyarakat. Setidaknya ada tujuh laporan dugaan pelanggaran etik. Baik yang tertuju kepada Ketua MK Anwar Usman maupun delapan hakim lainnya.

Hakim MK Enny Nurbaningsih mengakui banyak laporan terkait putusan MK tentang batas usia calon presiden dan wapres.

Laporan tersebut ditujukan kepada sembilan hakim MK maupun hakim yang menyampaikan dissenting opinion.

"Saya dengar malah ada 13 laporan, walau belum pasti,’’ jelas Enny di gedung MK, Senin, 23 Oktober.

Menurut Enny, MK telah menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk membahas laporan dugaan pelanggaran kode etik itu.

Hasilnya, MK akan segera membentuk MKMK. Mereka terdiri atas tiga anggota, yakni Prof Jimly Asshiddqie (perwakilan masyarakat), Prof Bintan Saragih (perwakilan akademisi), dan perwakilan dari Mahkamah Agung (MA) Dr Wahiduddin Adams.

"Sesuai regulasi, memang MKMK harus dari tiga perwakilan tersebut,’’ jelas alumnus Fakultas Hukum UGM itu.

MKMK diharapkan bekerja dengan cepat untuk memutuskan semua laporan tersebut. Tentu, MK menyerahkan semuanya ke MKMK. Hakim konstitusi tetap berkonsentrasi pada perkara yang ditangani.

’’Surat pembentukan MKMK ditandatangani ketua MK. Ya, memang begitu prosedurnya,’’ papar perempuan asal Pangkal Pinang itu.

Bukan kali ini saja hakim MK dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik. Lalu, MK membentuk MKMK. Mei lalu, MKMK juga memutus hakim konstitusi M.

Guntur Hamzah terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku. Yakni, terkait pengubahan amar putusan. Namun, sanksi yang diberikan hanya berupa teguran tertulis.

Sementara itu, kemarin MK juga memutuskan perkara terkait syarat usia calon presiden dan wapres. Kali ini menyangkut batas atas atau usia maksimal kandidat.

Dalam putusannya, MK tidak menerima lima uji materi tentang batas maksimal usia capres dan cawapres 70 tahun. Uji materi itu tidak dapat diterima karena Pasal 169 huruf q UU tentang Pemilu yang digugat telah memiliki pemaknaan baru.

’’Sebagaimana putusan nomor 90/PUU-XXI/2023,’’ jelas Ketua MK Anwar Usman. Dengan pemaknaan baru itu, maka uji materi telah kehilangan objeknya, walaupun permohonan uji materi telah memenuhi tata beracara
dalam perkara pengujian UU.

Ketika persidangan masih berlangsung, kuasa hukum pemohon perkara nomor 102 Anang Suindro sempat melakukan interupsi. Sidang dinilai konflik kepentingan karena dipimpin Anwar Usman. Namun, interupsi itu ditolak.

’’Putusan tidak boleh diinterupsi. Soal itu sudah diproses dalam Majelis Kehormatan,’’ terang hakim Saldi Isra.

Sementara itu, Ketua MK Anwar Usman angkat bicara soal kontroversi putusan MK yang banyak menuai kecaman. Sejak menjadi hakim pada 1985, dia mengaku selalu memegang teguh amanah dalam konstitusi.

"Amanah yang dalam agama saya ada di Alquran,’’ kata adik ipar Presiden Jokowi tersebut.

Dalam berbagai kesempatan, sebagai hakim, Anwar sering menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW saat didatangi utusan dari kaum Quraisy untuk memberikan perlakuan berbeda kepada bangsawan yang melakukan pidana.

’’Nabi saat itu tidak menjawab. Hanya mengatakan seandainya Fatimah, anakku mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya,’’ terangnya

Dari kisah itu, Anwar menuturkan, hukum harus berdiri tegak tanpa diintervensi dan takluk. Karena itu, sebagai hakim, dia memutuskan demi keadilan berdasar Allah SWT.

’’Selain bertanggung jawab ke bangsa dan negara, saya juga bertanggung jawab ke Tuhan Yang Maha Esa,’’ urainya.

Dalam putusan tersebut, dari sembilan hakim MK, tiga hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Yakni, Wakil Ketua MK Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai, seharusnya MK menolak permohonan pemohon. Selain itu, dua hakim menyatakan alasan berbeda (concurring opinion).

Putusan itu pun memicu kontroversi. Bahkan, masyarakat memelesetkan MK sebagai kependekan dari Mahkamah Keluarga.

Sebab, putusan tersebut dinilai memberikan jalan bagi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres.

Sumber Berita / Artikel Asli : fajar

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - GentaPos.com | All Right Reserved