Jakarta, CNBC Indonesia - Perang antara Israel dan kelompok Hamas terus memakan korban jiwa. Banyaknya korban jiwa membuat daftar panjang warga tewas akibat konflik Israel dan pihak Palestina yang kerap meruncing dalam beberapa tahun terakhir.
Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan sebanyak 6.546, termasuk 2.704 anak-anak menjadi korban tewas di Gaza. Sementara korban tewas di wilayah Tepi Barat ada 103, termasuk 30 anak-anak dan 1 perempuan.
Militer Israel pun merilis data kematian. Sebanyak 1.405, termasuk 308 anggota militer dan 58 anggota kepolisian tewas selama perang berkecamuk sepanjang 7-25 Oktober.
Sebanyak 25 orang jurnalis juga dilaporkan tewas selama meliput perang Israel. Jumlah jurnalis Palestina yang terbunuh sejak 7 Oktober kini mencapai 21 orang. Tiga jurnalis Israel dan satu jurnalis Lebanon juga tewas dalam konflik tersebut.
Konflik antara pihak Palestina dan Israel bukan hal yang baru. Selama puluhan tahun, hubungan kedua negara kerap tegang bahkan memicu perang. Salah satu yang berdarah adalah pada 1987 yang dikenal dengan intifada.
Intifada atau yang berarti perlawanan dalam Bahasa Arab dilakukan Palestina pertama kali di Jalur Gaza pada Desember 1987. Ini terjadi setelah empat warga Palestina tewas ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua van yang membawa pekerja Palestina.
Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat dengan pemuda Palestina melemparkan batu ke tank dan tentara Israel. Hal ini juga menyebabkan berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel.
Pada periode 2008-2022 atau 14 tahun terakhir, konflik kedua pihak juga kerap memanas hingga menyebabkan korban tewas dari kedua belah pihak. Periode paling berdarah adalah pada 2014 . Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza yakni di tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021
Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.
Berdasarkan data United Nations OCHA sejak tahun 2008 perang Israel-Palestina telah memakan ratusan ribu korban.
Sejak tahun 2008 hingga 2022 korban jiwa di Palestina telah memakan 6.180 korban, sedangkan untuk korban luka-luka di Palestina telah memakan hingga 144.052 korban.
Begitu juga di Israel, meskipun jumlah korbannya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Palestina. Korban jiwa akibat perang tersebut telah memakan 279 korban jiwa di Israel sejak tahun 2008 hingga 2022. Sedangkan untuk korban luka-luka di Israel mencapai 6.103.
Melihat data di atas, korban Palestina tercatat 516 kali lipat lebih besar dibandingkan Israel,
Upaya Perdamaian
Pada tahun 1979, Mesir dan Israel menandatangani perjanjian damai, mengakhiri permusuhan selama 30 tahun. Pada tahun 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Arafat berjabat tangan mengenai Perjanjian Oslo mengenai otonomi terbatas Palestina. Pada tahun 1994, Israel menandatangani perjanjian damai dengan Yordania.
KTT Camp David tahun 2000 menyaksikan Presiden Bill Clinton, Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Arafat gagal mencapai kesepakatan perdamaian akhir.
Pada tahun 2002, Arab menawarkan Israel hubungan normal dengan semua negara Arab sebagai imbalan atas penarikan penuh dari wilayah yang mereka rebut dalam perang Timur Tengah tahun 1967, pembentukan negara Palestina dan "solusi yang adil" bagi pengungsi Palestina.
Upaya perdamaian terhenti sejak 2014, ketika perundingan antara Israel dan Palestina di Washington gagal.
Palestina kemudian memboikot hubungan dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump karena pemerintahan tersebut membalikkan kebijakan AS selama beberapa dekade dengan menolak mendukung solusi dua negara, formula perdamaian yang membayangkan sebuah negara Palestina didirikan di wilayah yang direbut Israel pada tahun 1967.
Kini, pemerintahan Presiden AS Joe Biden berfokus pada upaya untuk mengamankan "tawar-menawar besar" di Timur Tengah yang mencakup normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi, penjaga dua tempat suci umat Islam.
Perang terbaru ini secara diplomatis terasa canggung bagi Riyadh dan juga bagi negara-negara Arab lainnya, termasuk beberapa negara Teluk Arab yang bersebelahan dengan Arab Saudi, yang telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel.