Kalangan ekonom mengkritisi target pertumbuhan ekonomi yang telah diumumkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo.
Anies-Muhaimin menargetkan jika menang Pilpres 2024 akan membawa ekonomi Indonesia tumbuh 5,5-6,5% pada periode 2025-2029, sedangkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjanjikan pertumbuhan ekonomi rata-rata di level 7%.
Direktur Eksekutif Institute for Develompent of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, sebetulnya untuk target pertumbuhan batas bawah Anies-Muhaimin cenderung realistis, karena tekanan ekonomi global masih tinggi.
Misalnya, dua perang yang kini terjadi di Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina yang membuat harga minyak kini meningkat tinggi dan menekan aktivitas perdagangan. Lalu, tekana inflasi masih terus terjadi di sejumlah negara, khususnya negara-negata maju yang menyebabkan tren suku bunga acuan tinggi terjasi dalam waktu lama.
"Jangankan tujuh, 5,5% saja sudah, alhamdulillah, karena kondisinya masih berat," kata Tauhid kepada CNBC Indonesia, Rabu (25/10/2023).
Dia menekankan, gangguan perang yang membuat harga komoditas bergejolak hingga melemahnya aktivitas perdagangan saat perekonomian global melemah akibat tekanan inflasi itu tentu akan memengaruhi kinerja ekspor-impor Indonesia. Hingga September 2023 surplus neraca perdagangan Indonesia menjadi US$27,75 miliar atau turun US$12,10 miliar dari periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, tekanan inflasi yang terus terjadi di banyak negara, dan membuat tren suku bunga acuan bank sentral tinggi, termasuk Bank Indonesia akan membuat konsumsi masyarakat turun, beriringan dengan melambatnya kinerja investasi swasta karena tingginya beban pinjaman mereka untuk modal ekspansi.
"Makanya untuk 2024 saja, lembaga-lembaga dunia juga telah memperkirakan ekonomi kita paling tinggi hanya 5,1 atau 5,2 persen," ucap Tauhid.
Ia mengatakan, untuk memperoleh pertumbuhan 5% sebetulnya memang sudah di tangan, jika hanya mengandalkan konsumsi masyarakat dan belanja atau konsumsi pemerintah. Namun, pertumbuhan di atas itu akan sulit diperoleh bila ekspor terganggu dan investasi mandek atau hanya sesuai target tahun ini Rp 1.400 triliun.
"Jadi, kalau misalnya hanya konsumsi, government expenditure, itu 5% ya autopilot, jalan. Jadi, kuncinya dua, ya kalau mau 7%, satu di investasinya, kedua di ekspor-impornya," kata Tauhid.
Maka, dia tak kaget jika Anies-Muhaimin mematok level bawah target pertumbuhan hanya di 5,5%. Namun untuk target atas pertumbuhannya yang 6,5%, menurut Tauhid tentu akan membuat kebutuhan Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap bisa lebih lama dari target tercepat 2038 atau sebelum mulai berakhirnya bonus demografi.
Kritikan yang serupa disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal. Menurutnya, jika target pertumbuhan ekonomi tak lebih dari 7%, maka ada indikasi usaha untuk keluar dari middle incom trap bagi Indonesia lambat, meski targer yang di pasa cenderung realistis di level 5,5-6,5%.
"Tapi pertanyaan juga adalah ini kan bukan sekedar target tinggi-tinggian ya, tapi realistis atau tidak. Kalau kita melihat perkembangan yang sudah ada, untuk lebih tinggi dari 5% ini kan butuh ada transformasi dan itu juga yang diusung dalam RPJPN kita memerlukan transformasi," ucap Faisal.
Maka, dia mengingatkan penting juga bagi capres dan cawapres 2024 untuk mengusung visi misi yang tak hanya fokus pada target pertumbuhan yang tinggi-tinggi. Namun juga harus mendetailkan program kerja yang mampu membuat ekonomi Indonesia mampu tumbuh kuat, sambil menjaga daya beli masyarakat kelas bawah.
"Memang kita butuh pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat tapi bukan hanya itu keseimbangan juga menjadi penting dengan aspek lain termasuk dalam hal manfaat yang dirasakan masyarakat lapisan paling bawah," tutur Faisal.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, target pertumbuhan ekonomi capres dan cawapres itu masih terbilang ambisius. terutama karena berlanjutnya konflik geopolitik, fluktuasi harga komoditas, hingga terjadi fenomena deglobalisasi.
"Masalahnya struktur ekonomi Indonesia sangat rapuh, mulai dari industrialisasi yang macet, hingga ketergantungan ekonomi dari komoditas olahan primer yang menunggu booming komoditas," tegasnya.
Kondisi itu diperburuk dengan sisi permintaan globalnya turun, misalnya China ekonominya yang melambat maka susah bagi Indonesia tumbuh diatas 5,5% apalagi 7%. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia memang butuh 7-8% per tahun sampai Indonesia bisa lepas dari middle income trap dan jadi negara maju.
"Tapi poin utama terletak pada strategi apa yang bisa ditawarkan masing masing kandidat capres. Jadi pertumbuhan tinggi kalau strategi nya standar dan biasa biasa saja ya impossible," tuturnya.
Namun, dia mengakui Ganjar dan Anies dalam visi misi nya menyentuh aspek ekonomi baru seperti transisi energi atau ekonomi hijau dan ekonomi digital. Kedua hal tersebut memang penting sebagai motor pertumbuhan ekonomi, tapi perlu dicatat juga bahwa ketergantungan teknologi impor, dan skill SDM yang berkorelasi dengan kualitas pendidikan tidak bisa selesai dalam 5 tahun.
"Belum lagi bicara soal masalah arah pembangunan infrastruktur era Jokowi yang belum sejalan dengan industrialisasi dan penurunan biaya logistik. Jadi PR nya memang masih banyak," tutur Bhima.
Dia pun menyarankan supaya arah kebijakan ekonomi ke depan mampu menyelesaikan masalah lemahnya struktur ekonomi yang diwariskan era Jokowi, dan kedua, mendorong sumber ekonomi baru yang lebih berkualitas.
"Kita juga tidak ingin para capres mengejar pertumbuhan tinggi tapi melupakan kualitas pertumbuhan seperti melebarnya ketimpangan, hingga masih banyaknya jumlah masyarakat rentan. Harus balance antara pertumbuhan dan indikator kesejahteraan yang lebih merata," tegas Bhima.