Pasangan bakal calon presiden (bacapres)- bakal calon wakil presiden (bacawapres), Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menargetkan berkurangnya backlog kepemilikan rumah Indonesia pada 2029 bisa menjadi 8 juta unit, padahal realitanya orang makin susah beli rumah.
Target kerja tersebut tertuang di dalam dokumen visi, misi, dan program Anies-Cak Imin yang nantinya akan dijalankan apabila terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.
Adapun beberapa agenda kerja yang terkait dengan pembangunan hunian atau rumah tertera di dalam Visi "Indonesia Adil Makmur untuk Semua" dan Misi "8 Jalan Perubahan".
Membahas tentang backlog, ini merupakan istilah yang merujuk kepada jumlah rumah atau unit perumahan yang belum selesai dibangun atau belum tersedia untuk dihuni. Backlog perumahan bisa diibaratkan antrian panjang bagi orang-orang yang membutuhkan rumah tetapi rumahnya belum tersedia atau belum dibangun.
Artinya semakin banyak backlog maka akan menyebabkan banyak orang kekurangan rumah. Lantas bagaimana realita backlog perumahan di Tanah Air saat ini?
Realitanya Saat Ini, Backlog Masih Tinggi
Angka backlog kepemilikan rumah di Indonesia saat ini masih sangat tinggi, berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Rumah dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencapai 12,7 juta. Angka backlog ini sulit diturunkan karena meningkatnya kebutuhan karena pertambahan penduduk di tengah keterbatasan lahan dan mahalnya suku bunga kredit kepemilikan rumah.
Di perkotaan mencapai 10 juta sementara di pedesaan sebesar 2,7 juta. Angka backlog tidak banyak berubah dalam satu dekade terakhir, hanya turun tipis dibandingkan pada 2010 yang tercatat 13,5 juta unit.
Hingga penghujung 2022, jumlah penduduk Indonesia diketahui mencapai 275 juta jiwa yang berpengaruh terhadap kebutuhan akan hunian. Akan tetapi, backlog masih tinggi, bahkan akan cenderung meningkat 600.000 - 800.000 rumah tangga tiap tahunnya.
Kalkulasi pemerintah kebutuhan rumah baru berkisar antara 820.000 hingga 1 juta rumah per tahunnya, sementara pengembang hanya mampu membangun 400.000 unit per tahun. Defisit besar backlog ini lah yang mengakibatkan harga properti merangkak dengan cepat.
Data Bank Indonesia (BI) tentang indeks harga properti residensial yang menanjak signifikan dalam empat tahun tahun terakhir, khususnya tipe kecil dan menengah.
Peningkatan harga tersebut sejalan dengan kebutuhan rumah yang besar akibat jumlah penduduk yang tinggi, sementara kemampuan developer tak mampu mengikuti.
Akses Pembiayaan Kurang Mendukung
Selanjutnya, sumber pembiayaan yang terbatas menjadi salah satu persoalan dalam memangkas backlog kepemilikan rumah. Menurut data Bank Indonesia, pembiayaan non-perbankan masih menjadi sumber pembiayaan utama untuk pembangunan properti residensial.
Pada kuartal II-2023, sebesar 72,80% dari total kebutuhan modal pembangunan proyek perumahan berasal dari dana internal. Sementara itu dari sisi konsumen, fasilitas KPR (kredit pemilikan rumah) masih menjadi pilihan utama dalam pembelian properti residensial dengan pangsa sebesar 76,02% dari total pembiayaan.
Sumber Pembiayaan Pengembang dan KonsumenFoto: Survey Bank Indonesia
Sumber Pembiayaan Pengembang dan Konsumen
Sumber pembiayaan lain berupa penggalangan dana melalui pasar modal ataupun lewat obligasi belum banyak diambil oleh pengembang. Kondisi ini berdampak pada kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi.
Sementara dari sisi konsumen, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masih menjadi pilihan utama pendanaan karena memang penghasilannya tak mampu untuk membeli rumah dalam jangka pendek.
Katakan saja masyarakat dengan pendapatan minimum sekitar Rp5 juta, apabila menabung sekitar 20% dari pendapatan, yaitu Rp1 juta per bulan, untuk membeli rumah subsidi yang berkisar Rp150 juta membutuhkan waktu kurang lebih selama 12 tahun baru bisa beli rumah, padahal dalam rentang waktu tersebut harga rumah cenderung naik seiring dengan peningkatan inflasi.
Oleh karena itu, konsumen jadi ketergantungan akan pinjaman untuk membeli rumah. Sayangnya, kondisi ini berisiko pada ongkos pinjaman yang rentan naik saat suku bunga melesat seperti saat ini.
Akibatnya, pembeli harus menyisihkan uang lebih banyak untuk mencicil KPR. Bagi perbankan, penyaluran kredit perumahan memiliki masalah tersendiri terkait mismatch antara sumber dana perbankan dan peruntukan pembiayaan.
Mayoritas sumber dana perbankan adalah dana bertenor pendek dari simpanan masyarakat. Sementara itu, proyek pembangunan hingga pelunasan kepemilikan rumah membutuhkan waktu yang panjang.
Mismatch ini menjadi salah alasan tingginya bunga pinjaman bagi pengembang ataupun pembeli. Hal ini berdampak bagi kemampuan pengembang untuk menambah stok rumah.
Jutaan Pekerja Informal sulit akses KPR
Masalah berikutnya yang membuat backlog sulit turun ada dari jutaan pekerja informal yang sulit mengakses KPR. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 83,34 juta atau 60% dari total pekerja di Indonesia, naik drastis dibandingkan pada 2019 sebesar 57,2%.
Pekerja yang mencari makan tanpa kehadiran negara ini memiliki profesi beragam mulai dari ojek online, pedagang kaki lima, pekerja lepas industri kreatif, hingga pedagang di pasar.
Mereka tidak bisa mengajukan KPR, sebab bank meminta sejumlah persyaratan mulai dari SK kepegawaian, slip gaji, dan keterangan surat keterangan kerja. Tentu saja pekerja informal tidak memiliki syarat-syarat itu, sebab tidak memiliki kantor tertentu atau pemberi kerja tetap.
Bank menolak memberikan KPR karena takut resiko debitur dari penghasilan yang tak menentu, keberlangsungan pekerjaan, risiko gagal bayar, hingga rekening perbankan.
Jutaan Milenial dan Gen-Z Terancam Kesulitan Memiliki Rumah
Pekerjaan informal juga sangat kental dengan Gen-Z, lantaran generasi ini banyak memilih pekerjaan tak tetap untuk alasan beragam, seperti lebih sayang kesehatan mental hingga ingin kebebasan waktu untuk bekerja dari mana saja, atau sering pindah-pindah kerja sehingga sulit memutuskan untuk tinggal menetap dalam jangka panjang.
Hasil Sensus Penduduk 2020 mencatat jumlah generasi Z di Indonesia mencapai sekitar 75 juta atau sebanyak 27,94% dari total populasi. Sementara itu, generasi milenial sebanyak 69 juta atau 25,87%.
Kelompok milenial dan gen Z biasanya sangat menomorsatukan efisiensi akan membutuhkan hunian yang dekat ke tempat kerja dan sarana transportasi yang memadai.
Akhirnya, banyak generasi Z ini memilih untuk menyewa rumah daripada memiliki rumah juga harus menjadi pertimbangan pemangku kebijakan ke depan. Arah kebijakan perumahan ke depan harus memperhatikan keinginan kedua generasi tersebut. Dengan keterbatasan lahan dan semakin mahalnya harga lahan di perkotaan maka diperlukan arah kebijakan yang berfokus pada pembangunan vertical housing di perkotaan.
Sarana dan prasarana di daerah pemukiman vertical housing harus dibuat semenarik mungkin dari sisi kepraktisan, kedekatan, hingga harga. Pembangunan rumah susun murah bisa menjadi alternatif untuk menyerap kebutuhan rumah yang murah tetapi tetap dekat dengan tempat kerja.
Anies-Cak Imin Targetkan Backlog 8 Juta Pada 2029, Program Apa yang Dijalankan?
Beralih pada target pasangan capres dan cawapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menargetkan berkurangnya backlog kepemilikan rumah di Indonesia pada tahun 2029 bisa mencapai 8 juta.
Target kerja yang tertuang dalam dokumen visi, misi, dan program Anies-Cak Imin yang nantinya akan dijalankan apabila terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.
Untuk mencapai hal tersebut ada beberapa agenda kerja yang terkait dengan pembangunan hunian atau rumah tertera di dalam Visi "Indonesia Adil Makmur untuk Semua" dan Misi "8 Jalan Perubahan".
Baca: Hasil Survei Terbaru Capres 2024: Anies Vs Prabowo Vs Ganjar
Dalam Misi 1, salah satu agenda yang akan dijalankan adalah memberikan kemudahan akses hunian. Agenda tersebut dijalankan dengan menyediakan hunian layak, dekat pusat kota, dan dengan harga terjangkau bagi semua kalangan, termasuk anak muda dan pekerja informal.
Kemudian, menyediakan program KPR bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk anak muda yang belum memiliki rumah, serta menyediakan hunian layak dengan sistem sewa yang terjangkau.
Selanjutnya, terdapat pula agenda khusus yang berisi manfaat bagi 28 kelompok masyarakat, atau disebut dengan 28 simpul kesejahteraan. Salah satunya bagi kelompok generasi Z dan Milenial, yaitu dengan menyediakan minimal 2 juta hunian terjangkau di pusat kota yang terintegrasi dengan transportasi umum.
Sebagai catatan, Anies memiliki sejumlah program perumahan saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Salah satunya adalah program DP 0 rupiah.
Terlepas dari berbagai program yang akan dijalankan ke depan, untuk mencapai target diperlukan eksekusi yang tepat dan cepat walaupun secara realita dalam waktu 10 tahun saja backlog sangat lambat untuk turun, jadi target ke 8 juta ini memang menjadi PR berat, bukan hanya untuk paslon Anies-Cak Imin, tetapi ke semua capres-cawapres nantinya yang akan terpilih nantinya untuk bisa mengatasi ketimpangan kepemilikan rumah masyarakat Indonesia.