Indonesia tengah mendorong penggunaan kendaraan listrik (Electric Vehichle/VE) sebagai upaya mengurangi emisi karbon di Indonesia.
Namun upaya mendorong pemakaian kendaraan listrik ini kerap menuai kritik khususnya berkenaan dengan skema atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Seperti misalnya, kritik dari Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Pria yang akrab disapa JK ini pernah mengkritik penggunaan mobil dan motor listrik di Indonesia yang mana, pengembangannya tidak diimbangi dengan pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT).
Sehingga, kendaraan listrik yang seharusnya bisa untuk mengurangi emisi dari pembangkit kotor seperti PLTU sementara malah tetap memakai PLTU tersebut.
"Mobil listrik itu untuk mengurangi emisi kan? Tapi tiap malam itu harus di-charge, jadi sangat tergantung kepada pembangkit. Kalau pembangkitnya tetap PLTU itu hanya berpindah emisi dari knalpot mobil ke cerobong PLTU," ungkap JK beberapa waktu yang lalu.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM, Harris Yahya mengatakan bahwa memang sumber listrik yang dipakai untuk kendaraan listrik di Indonesia masih didominasi oleh energi yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara.
Keresahan masyarakat yang mengatakan emisi karbon dari kendaraan listrik di jalan hanya berpindah ke PLTU batu bara merupakan keresahan yang beralasan.
Harris menyebutkan bahwa nyatanya Indonesia masih memanfaatkan sumber energi listrik yang mana 60% dari energi tersebut masih berasal dari PLTU batu bara.
"Sektor transportasi menggeser penggunaan bahan bakar itu dan bahan bakar lain menjadi berbasis listrik.
Lalu ada yang bertanya, buat apa menuju kendaraan listrik kalau pembangkitnya masih kotor emission reduction-nya dimana, hanya memindahkan dari jalan raya ke pusat-pusat pembangkit. Sangat beralasan jika ada yang bertanya itu," jelas Harris dalam acara Peluncuran AEML: Transisi Energi Semakin Nyata, di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Senin (5/6/2023).
"Sekarang kita lebih dari 60% pembangkit kita dari yang menghasilkan emisi besar," tambahnya.
Walaupun Indonesia masih menggunakan PLTU batu bara, kata Harris, Indonesia menargetkan akan memensiunkan PLTU batu bara hingga tahun 2060 mendatang.
Jadi, pengurangan emisi tersebut dilakukan secara bertahap, yang mana saat ini yang menjadi fokus pemerintah adalah percepatan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia.
"Tapi target kita sebelum 2060, PLTU batu bara akan di-pass out habis, secara bertahap tentunya. Bahkan beberapa program tambahan lainnya adalah mempercepat pass out khususnya pembangkit-pembangkit yang dikembangkan oleh PLN.
Untuk non PLN, masih akan diberikan kesempatan untuk selesai operasi sampai kontrak berakhir. Tentunya dengan mekanisme yang dibangun pemerintah," tandas Harris.