Beberapa bulan setelah kejatuhannya, Presiden RI ke-2 Soeharto berbicara kepada jutaan rakyat Indonesia di televisi swasta milik keluarga Cendana. Dia berbicara perihal harta kekayaannya.
"Saya tidak punya uang satu sen pun," kata Soeharto, pada 6 September 1998 lalu, dikutip CNN Indonesia.
Ucapan itu keluar bukan tanpa alasan. Sebab, beberapa hari sebelumnya Kejaksaan Agung mengumumkan ada indikasi penyimpangan penggunaan dana di yayasan yang dikelola Soeharto. Artinya, lewat tayangan itu Soeharto seakan membantah temuan yang ada.
Diketahui, seluruh yayasannya memiliki harta Rp 4 Triliun. Sementara, Soeharto sendiri punya 72 rekening dengan nilai deposito Rp 24 Miliar. Keluarga Cendana pun punya 400 ribu hektare tanah.
Temuan ini membawa kita kepada pertanyaan menarik: Jika benar pria yang lahir tepat hari ini 102 tahun lalu itu punya harta senominal tersebut, maka bagaimana cara memperolehnya?
Tentu caranya berkaitan erat dengan kesuksesannya menjadi penguasa selama 32 tahun.
Ross H. McLeod dalam "Soeharto's Indonesia: A Better Class of Corruption" (A Journal of Policy Analysis and Reform, 2000) menyebut langkah pertama yang dilakukan dengan membangun sistem terstruktur yang menguntungkan.
Awalnya, Jenderal Besar itu kerap memperkerjakan kenalan-kenalannya, baik militer, sipil atau keluarga, di proyek-proyek negara.
Dengan langkah ini, pengaruhnya pun semakin luas, sehingga dapat mudah menjadikan mereka mesin pendulang uang.
Lebih lanjut, Soeharto juga banyak bersentuhan di dunia bisnis. Persentuhan ini terjadi berkat kedekatannya dengan beberapa pengusaha. Salah satu yang terkenal adalah relasi Soeharto dengan Liem Sioe Liong, pendiri Salim Group.
Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong's and Salim Group (2016) menjelaskan hubungan Soeharto-Salim bak simbiosis mutualisme.
Presiden mendukung Liem dan memastikan bisnisnya berjalan baik. Lalu sebagai timbal balik, Liem memberi cuan kepada Soeharto.
Tak hanya itu, mesin pendulang uang lainnya adalah bisnis anak-anaknya. Ini terjadi ketika putra-putrinya sudah besar dan mampu membangun bisnis sendiri.
Berkat mengandalkan nama besar bapaknya, praktis bisnisnya berjalan lancar, sehingga menambah harta keluarga.
Salah satu cerita terjadi pada bisnis Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading. Keduanya punya Tommy dan Bambang, putra Soeharto.
Saat ekspor minyak sedang booming, diketahui anaknya mematok US$ 0,30-0,35 per barel untuk melakukan pengiriman.
Belakangan, diketahui kalau Pertamina mampu melakukan pengiriman sendiri. Dan terungkap itu hanya akal bulus untuk mencari keuntungan saja.
Selain itu, mesin kekayaan Soeharto lainnya adalah yayasan. Hal ini tertuang dalam investigasi majalah Time edisi 24 Mei 1999 berjudul "Soeharto Inc.: How Indonesia's Long Time Boss Built a Family Fortune."
Sebagai catatan, selama berkuasa eks-Pangkostrad itu beberapa kali membangun yayasan yang dikelola istri dan keluarganya.
Ada yang bergerak di bidang amal, pendidikan, keagamaan dan kesehatan. Seperti Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, dan sebagainya.
Mengutip buku George Junus berjudul Korupsi Kepresidenan (2006) diketahui, yayasan itu kerap meminta sumbangan kepada perusahaan negara.
Misalnya, pada 1978 pemerintah mewajibkan bank negara memberikan 2,5% keuntungan kepada yayasan.
Masalahnya, tidak ada catatan transparansi mengenai dana sumbangan itu. Alhasil, Time pun menyebut yayasan itu merupakan dana gelap raksasa dan mesin politik Soeharto.
Time juga memaparkan fakta lain, antara lain jumlah harta Keluarga Cendana mencapai US$ 15-73 miliar dan terjadi transaksi raksasa US$ 9 miliar dari rekening Soeharto di bank Swiss ke bank Austria. Begitu pula New York Times yang menyebut seluruh aset Soeharto US$ 30 miliar.
Terkait laporan Time, Presiden Soeharto menggugat publikasi internasional tersebut yang pada 2007 oleh Mahkamah Agung dinyatakan menang gugatan Rp 1 triliun.
Namun Pada 16 April 2009, Mahkamah Agung melalui putusannya No. 273 PK/PDT/2008 membatalkan putusan tersebut dan memenangkan Majalah Time setelah mengajukan peninjauan kembali.
Berkat cara licin Soeharto memupuk kekayaan, Transparency International pada 2004 menobatkan Soeharto sebagai presiden terkorup di dunia dengan kekayaan US$ 15-35 Miliar.
"Nama Soeharto bertengger di pucuk daftar koruptor sedunia, di atas bekas Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan bekas diktator Zaire Mobutu Sese Seko. Nilai korupsi keduanya terpaut cukup jauh dari Soeharto," tulis The Guardian (26 Maret 2004).
Belakangan, seluruh laporan harta kekayaan Soeharto itu dibantah oleh keluarga. Bahkan, khusus laporan Time, Keluarga Cendana sampai menggugatnya karena mengandung fitnah.
Kendati ada bantahan, negara sempat menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada Maret 2000. Penetapan ini berkaitan dengan temuan Kejaksaan Agung ihwal penggelapan US$ 571 Juta dari tujuh yayasan yang dikelolanya.
Meski demikan, perjalanan kasus itu berhenti karena Soeharto sakit-sakitan, dan kemudian meninggal pada 27 Januari 2008.