Soal mengejar matahari saat puasa, Gus Baha: Masih menjadi pertanyaan besar.
Ada satu pertanyaan yang masih menjadi pertanyaan besar tentang fikih puasa.
Gus Baha menjelaskan hal itu dalam pengajiannya yang membahas fikih puasa.
Gus Baha ingin masalah ini diperhatikan oleh umat Islam juga dan tidak hanya membahas masalah tahlilan yang dianggap sunnah atau bidah.
Gus Baha melontarkan pertanyaan, “Apakah boleh kita mengejar matahari?”
Setelah melontarkan pertanyaan tersebut, Gus Baha memerincikan persoalan yang pernah dialaminya sendiri.
“Misalnya begini,” kata Gus Baha, “saya pernah mengalami sendiri. Pada tahun 2009, saya pernah pergi dari Jakarta jam satu (siang) tepat, naik pesawat hendak berangkat umrah.”
“Oleh kru pesawat diberitahu bahwa penerbangan akan berlangsung selama sepuluh jam,” lanjut Gus Baha.
“Logikanya, penerbangan itu berlangsung satu malam. Ternyata tidak,” tutur Gus Baha.
Gus Baha lantas menjelaskan bahwa ketika mendarat di Jeddah, matahari masih terasa panas.
Artinya, belum masuk waktu magrib atau matahari belum terbenam di ufuk barat sana.
Gus Baha lantas mempertanyakan bahwa kalau itu dilakukan dalam keadaan berpuasa, bagaimana hukumnya?
Kalau berangkat jam satu (siang) berarti lima jam kemudian harusnya sudah masuk waktu berbuka.
Ternyata setelah sepuluh jam terbang ke barat, Mekkah itu belum magrib.
Gus Baha melempar pertanyaan, “Nah, apakah saya boleh berbuka atau tidak?”
Setelah itu, Gus Baha membalikkan kasusnya.
“Misalnya sekarang dibalik. Orang Mekkah jam satu siang terbang ke arah timur. Baru sejam terbang menuju Indonesia, masuk waktu magrib, langsung buka puasa,” kata Gus Baha.
Gus Baha pun melontarkan pertanyaan lagi, “Itu boleh atau tidak?”
Menurut Gus Baha, pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang harus didiskusikan.
Oleh karenanya, perdebatan itu tidak sekadar tentang tahlilan yang dari dulu sampai sekarang masih berlangsung.
“Orang-orang masih membicarakan tahlil, bidah atau sunnah, itu sebenarnya sudah dibahas sejak dulu,” ujar Gus Baha.
Gus Baha melanjutkan, “Coba ajak mereka untuk membahas hukum-hukum yang rasional seperti ini.”
Gus Baha menambahkan bahwa kalau sedang melakukan haji atau umrah, Gus Baha bertemu ulama-ulama dari berbagai wilayah.
“Saya itu kalau haji atau umrah senang bisa bertemu dengan ulama-ulama dari Yaman, Mekkah, dan lainnya. Mereka orang yang alim dan ikhlas,” terang Gus Baha.
“Saya sekadar berdiskusi hal-hal seperti itu dengan mereka. Sampai sekarang, contoh tadi masih menjadi pertanyaan besar,” pungkas Gus Baha.
Tulisan ini disarikan dan diolah dari keterangan Gus Baha yang dilansir dari kanal YouTube Santri Gayeng