Belasan ribu warga Depok terancam tak dapat menggunakan hak suara dalam ajang Pemilu 2024, mendatang. Kok bisa? Simak ulasan berikut ini.
Komisioner Bawaslu Kota Depok, Dede Selamet Permana menjelaskan, ada banyak faktor yang menyebabkan belasan ribu orang tersebut terancam tak bisa memilih alias nyoblos.
“Masih banyak masalah, contohnya gini orang pemilih yang tidak ditemukan karena beda tempat. Contoh, Si A KTP-nya Depok, tapi tinggalnya sehari-hari di Jakarta, kan nggak ada ketika mau di coklit (pencocokan dan penelitian),” katanya dikutip pada Sabtu, 25 Maret 2023.
“Jadi, tanda terimanya nggak bisa dikasihin, stiker nggak bisa ditempelkan. Nah itu ribuan bang. KPU-nya bingung ini mau diapain,” sambungnya.
Dede juga mengatakan, cara Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggunakan metode de jure melalui berkas atau dokumen kurang efektif, jika tidak memperhatikan de facto atau kenyataan.
“Ya makanya kan kebijakan ini adanya di KPU. Sama juga kasusnya kayak yang 18 TPS di Limo dan Krukut Depok yang kena tol. Rumahnya udah nggak ada, RT-nya udah nggak ada, tapi TPS nya ada. Terus dia mau nyoblos di mana? Di jalan tol? itu kan jadi masalah,” bebernya.
Itu terjadi, kata Dede, karena KPU basisnya sekarang de jure bukan de facto. Menurut dia, KPU Depok harus segera merekap data itu secara terpisah, kemudian melempar ke pusat.
“Yang punya kebijakan kan KPU pusat, serahkan data itu ke pusat, naikin aja biar mereka yang ngambil kebijakan,” ujarnya.
Dede Selamet Permana mengungkapkan, itu baru satu dari persoalan yang ditemukan. Masalah lainnya adalah, pemilih yang salah penempatan TPS, dan ini jumlahnya banyak sekali.
“Misalkan saya atau Bang Nana (Ketua KPU) masa beda TPS sama istrinya, kan kocak. Artinya kalau kita memandang, ini mapping KPU Depok terburu-buru. Dia hanya bagi angka udah 280 sisanya potong, enggak lihat-lihat tuh.”
“Akhirnya kaya di Panmas ada orang di daerah Pulo itu dia harus nyebrang Setu karena TPS nya beda,” sambungnya.
Menurut dia, ini terjadi karena restrukturisasi pengurangan Tempat Pemungutan Suara atau TPS, yang jeda waktunya sangat singkat.
“Nah itu yang kita bilang melanggar prinsip penyusunan TPS, seharusnya enggak boleh itu kejadian begitu,” ujarnya.
Imbas dari kejadian ini, kata Dede ada banyak warga yang terancam nggak bisa menggunakan hak suara, dan itu bukan karena golput.
“Iya tingkat partisipasi Pemilu di Depok terancam rendah. Nah itu udah kami sampaikan juga ke KPU,” katanya.
“Jangan juga KPU bikin warga males nyoblos karena jauh banget TPSnya.
Itu makanya pentingnya PPS itu ngobrol sama ketua lingkungan, karena kita menerima laporan ada RW yang keberatan,” sambungnya.
Persoalan berikut adalah, soal pemilih yang ada di dalam daerah konflik, atau lahan bersengketa.
“Disatu sisi pemerintah nggak mau ngakuin wilayah itu sebagai RT RW sendiri, tapi warganya sebagian kan ada yang punya KTP, punya hak pilih dan ada di dalam,” kata Dede Permana.
Lalu masalah lainnya adalah, pemilih yang meninggal tapi tak tercatat di akte kematian.
“Karena kalau dia (KPU) pakai basis de jure misalkan ada saudara kita meninggal belum dibuatkan sertifikat kematian sampai kapanpun akan dibilang hidup, maksudnya KPU punya data. Jadi jangan mengabaikan de facto (kenyataan) nya.”
Seperti yang tinggal di kawasan Krukut, setelah wilayah itu dijadikan tol, banyak warga yang pindah domisili.
“Di situ ada 18 TPS dengan jumlah pemilih 4 ribu orang. Nah itu terancam nggak bisa nyoblos. Kami melihat PPS ini belum serius menggarap itu, mereka bingung,” tuturnya.
“Makanya Pak Nana (Ketua KPU Depok) turunlah ke bawah, lihat sendiri kondisi anak buahnya itu gimana, jangan kerja di belakang meja aja,” tegas Dede Permana.
Lebih lanjut dirinya mengatakan, jika dibiarkan, maka ada sekira 11 ribu orang warga Depok atau lebih, yang terancam kehilangan hak suaranya di Pemilu 2024, mendatang.
“Dugaan kita ya, kalau misalkan kita anggap satu kecamatan seribu aja udah 11 ribu, kalau kita pukul rata ya. Itulah yang harus diselesaikan secepatnya,” kata Dede Permana. (*)