Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani mengkritik Polda Metro Jaya yang menetapkan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), M Hasya Attalah Syaputra (18), sebagai tersangka kasus kecelakaan yang menewaskan dirinya. Arsul menegaskan penetapan tersangka itu tidak sesuai dengan KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sebagai anggota Komisi III yang membidangi hukum, HAM dan Keamanan, saya berpendapat bahwa langkah Polda Metro Jaya (PMJ) menetapkan Almarhum Hasya tidak sesuai dengan KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK RI)," kata Arsul saat dihubungi, Minggu (29/1/2023).
Arsul menjelaskan dalam putusan MK RI No.21/PUU-XII/2014 disampaikan bahwa syarat penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Dia mengaku heran Polda Metro Jaya menetapkan Hasya jadi tersangka padahal sudah meninggal dunia.
"Lah, ini khan Hasya tidak mungkin diperiksa karena sudah lebih dahulu meninggal dunia sebelum ia dijadikan tersangka. Menurut KUHAP, sendiri penetapan tersangka itu harus setidaknya memenuhi dua alat bukti. Dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti itu pertama keterangan saksi, kedua keterangan ahli, ketiga surat dan petunjuk, keempat keterangan terdakwa. Di samping itu prosesnya harus memenuhi asas proporsional dan transparan," tegas Arsul.
Waketum PPP ini pun menantang penyidik Polda Metro Jaya untuk menunjukkan dua alat bukti yang telah digunakan sebagai dasar penetapan tersangka kepada Almarhum Hasya. Dia juga mempertanyakan prinsip proporsionalitas dalam penetapan tersangka itu.
"Saya ingin mempertanyakan kepada penyidik yang bersangkutan apa dua alat bukti yang telah dipergunakan sebagai dasar penetapan tersangka kepada Almarhum Hasya tersebut? Selain itu di mana penerapan prinsip proporsionalitas dalam penetapan tersangka tersebut ketika Hasya sebagai tersangka sudah terlebih dahulu meninggal dunia," ujarnya.
Dia pun mendesak penyidik Polda Metro Jaya menghentikan penetapan tersangka terhadap Hasya. Dia menilai tidak perlu ada penetapan tersangka ketika penyidik tahu bahwa yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
"Saya berpendapat bahwa seyogianya penyidik memegang prinsip yang diletakkan dalam Pasal 77 KUHP yakni penuntutan dihentikan ketika yang bersangkutan meninggal dunia. Meski pasal ini sering diartikan untuk tahap penuntutan setelah adanya tersangka. Namun prinsip hukum di dalamnya adalah menyiratkan juga prinsip bahwa tidak perlu ada penetapan tersangka ketika penyidik tahu bahwa yang mau ditetapkannya sebagai tersangka itu sudah meninggal," tuturnya.
"Di atas semua itu, dalam kasus Hasya, karena orang lainnya yang terlibat adalah mantan polisi, maka seyogianya kehati-hatian lebuh diperlukan agar tidak ada prasangka yang menurunkan citra positif polisi," lanjut dia.
"Kami dan tim TKP melakukan pemeriksaan sampai gelar perkara sebanyak tiga kali. Dihadiri dari Propam, dari Irwasum dan Bidkum," kata Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman dalam jumpa pers, Jumat (27/1).
Latif menjelaskan setelah insiden tersebut sempat dilakukan upaya mediasi antara pihak keluarga Hasya dan ESBW (purnawirawan polisi). Namun, mediasi ini tidak menghasilkan sebuah titik temu.
Latif mengakui penyidikan kasus ini memakan waktu sebelum akhirnya polisi memutuskan menghentikan penyidikan. Kasus disetop lantaran tersangka dalam kasus ini mahasiswa UI tewas dalam kecelakaan tersebut.
"Kami menghentikan penyidikan ini karena setelah dari proses penyelidikan penyidikan sampai dengan gelar perkara sampai dengan giat sketch TKP ini ya karena kelalaiannya dia sendiri mengakibatkan nyawanya dia sendiri. Kami hentikan proses penyidikan untuk memberikan kepastian hukum," ujarnya